Wednesday, May 10, 2006

Review Addicted To Rent


Nafsu menjarah dan mengeksploitasi hutan Indonesia, guna mempertebal kocek uang mereka, bukan hanya dimiliki oleh putra-putri dan sanak keluarga Soeharto saja. Pada masa “babe pembangunan” ini berkuasa para kroni beliau pun turut menjarah dan menikmati hasil hutan tropis Indonesia.

Seorang peneliti asal Washington, Amerika Serikat, David W. Brown, baru-baru ini menyelesaikan sebuah penelitian tentang praktek pat gulipat yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya di sektor kehutanan. Penelitian tersebut, yang berjudul Addicted to Rent: Corporate and Spatial Distribution of Forest Resource in Indonesia; Implication for Forest Sustainability and Government Policy, menyoroti praktek KKN yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH dan mantan presiden Soeharto.

David Brown adalah peneliti asal Amerika Serikat yang bekerja pada Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme.

Berdasarkan laporan penelitian tersebut, ternyata diantara lima perusahaan HPH swasta terbesar, dua diantaranya menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto. Kedua perusahaan tersebut adalah Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan. Dengan praktek semacam itu diduga kedua kelompok besar ini telah menyumbang miliaran dollar ke dalam kocek keluarga Soeharto.

Penelitian tersebut juga mencatat bahwa lima perusahaan pemegang konsesi HPH tersebut, Barito Pasific, Djajanti, Alas Kusuma, Kayu Lapis Indonesia (KLI), dan Bob Hasan group, berdasarkan data yang didapat hingga akhir tahun 1995, mengontrol seluas 18 juta hektare HPH di seluruh Indonesia. Luas tersebut berarti merupakan 30 persen dari luas seluruh HPH sebesar 62 juta hektare yang dikuasai oleh 585 perusahaan pemegang konsesi hutan.

Satu hal yang patut dicatat adalah, akibat adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, yang terjadi antara beberapa perusahaan raksasa pemegang HPH tersebut dengan Soeharto, maka pendapatan dari sektor hutan yang seharusnya mengalir ke dalam kas negera berpindah tangan ke dalam kantung keluarga Cendana.


Kelompok Barito Pasific
Kelompok Barito Pasific merupakan kelompok swasta pemegang konsesi HPH terbesar di Indonesia. Salah satu alasan mengapa konglomerat ini mendapat begitu banyak konsesi adalah, ia mau menyediakan saham dan kedudukan di dalam struktur perusahaannya kepada keluarga mantan presiden Soeharto.

PT. Barito Nusantara Indah merupakan salah satu anak perusahaan Barito Pasific yang memberikan saham kepada keluarga Soeharto. Perusahaan yang memiliki lahan seluas 95.000 hektare di Kalimantan Timur ini menempatkan Ibnu Hartomo, saudara kandung Ny. Tien Soeharto (alm), sebagai Komisaris Utama.

Sementara itu Bernard Ibnu Hardojo, juga saudara kandung Ny. Tien Soeharto, didudukkan sebagai Direktur pada anak perusahaan BPT yang lain, PT. Panambangan, yang memiliki lahan HPH di Kalimantan Tengah seluas 65.000 hektare.

Barito Pasific , yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu, agaknya memang ingin berdekat-dekat terus dengan mantan orang kuat Orde Baru ini. Terbukti Indra Rukmana, suami dari Mbak Tutut (putri tertua Soeharto), juga ditempatkan sebagai Presiden Direktur pada PT. Sangkurilang Bakti, yang memiliki HPH di Kalimantan Timur seluas 110.000 hektare.

Hubungan antara Barito Pasific dengan mantan presiden Soeharto dimulai pada tahun 1980-an, saat Barito membeli hak atas 35 konsesi kayu yang dimiliki oleh perusahaan lain. Hal ini dapat terjadi karena campur tangan Soeharto. Barito Pasific bahkan mendapatkan kemudahan pinjaman dari tiga bank milik pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bapindo, dan Bank Dagang Negara. Pada tahun 1991 Barito Pasific mendapat subsidi dari perusahaan hutan milik negara, Inhutani II, sebesar US$ 45 juta dan pinjaman dari Bank Bumi Daya sebesar US$ 550 juta.

Berdasarkan laporan joint committee antara Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan pada tahun 1994, Barito Pasific adalah perusahaan swasta yang memiliki utang terbesar di bank-bank pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut jumlah utang Barito Pasific kepada bank pemerintah adalah Rp 3,8 trilliun. Rangking ini turun pada tahun 1999 ke posisi nomor tiga di belakang dua anak laki-laki Soeharto. Namun David Brown percaya bahwa berdasarkan data yang ada di Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), Barito Pasific adalah konglomerat keenam yang memiliki utang besar pada bank-bank milik negara.

Selain mendapat kemudahan pinjaman dari bank-bank milik negara, konsesi-konsesi yang dimiliki oleh Barito memang telah memberikan peghasilan yang melimpah bagi Parjogo Pangestu. Dari penghasilan tersebut Prajogo mampu menghidupkan dan membesarkan bisnisnya, serta membiayai hubungan-hubungannya dengan Soeharo.

Pada tahun 1991 Barito telah mengeluarkan uang sebesar US$ 220 juta untuk mem-bail out Bank Duta. Bank Ini merupakan milik Nusamba, yang meupakan sebuah holding dengan 80 persen saham dimiliki oleh tiga yayasan terbesar mantan Presiden Soeharto. Konglomerat yang lain Salim Group, yang juga merupakan pemegang konsesi hutan terbesar ke enambelas, ikut membantu Barito Pasific mem-bail out Bank Duta.

Barito Pasific juga memberikan dukungan, melalui Barito Pasific Delta Mustika, saat Soeharto memerintahkannya untuk mem-bail out Astra, yang saat itu terkena ancaman bangkrut akibat kegagalan proyek bank pedesaan antara Bank Summa dengan Nahdlatul Ulama.

Keuntungan yang diperoleh Barito Pasific dari konsesi kayu juga dipergunakan untuk membangun kerjasama bisnis dengan dua orang anak Soeharto. Pabrik pulp milik Barito Pasific, PT. Tanjung Enim Lestari, yang bernilai sekitar US$ 1.1 milliar, telah memberikan sekitar 15% saham kepada amak perempuan Soeharto, yang juga mantan Menteri Sosial, Siti Hardijanti Rukmana., alias Mbak Tutut. Mbak Tutut juga memiliki saham sekitar 35% pada PT. Musi Hutan Persada, yang mengelola perkebunan penghasil kayu untuk diolah sebagai pulp. Tutut serta Prajogo Panegstu juga memiliki perkebunan gula yang sangat luas di Sulawesi.

Keterlibatan Barito dalam bisnis dan politik pun terbukti dalam pemilihan umum 1999. Sebuah laporan yang dimuat di dalam majalah Far Eastern Economic Review menyebutkan bahwa dari sekitar Rp 350 milliar yang dihabiskan oleh Golkar pada Pemilu bulan Juni 1999, sebesar Rp 80 milliar merupakan kontribusi pemilik Barito, Prajogo Pangestu. Selain itu Prajogo juga diduga telah melakukan transfer ke rekening milik mantan Jaksa Agung Andi Ghalib.



Bob Hasan Group
Pengusaha yang satu ini acap disebut dengan julukan Raja Kayu. Hal ini tentunya merujuk pada luasnya konsesi HPH yang dipegangnya. Satu hal yang membuatnya mampu memperoleh konsesi hutan yang sangat besar adalah kemauannya untuk menyediakan saham dan jabatan di dalam perusahaanya kepada anggota keluarga Soeharto.

Perusahaan-perusahaan Bob Hasan yang melakukan praktek KKN dengan keluarga Soeharto antara lain adalah, PT. Alas Helau; PT. Redjo Sari Bumi; PT. Santi Murni; dan PT. Sumber Mari.

Sigit Harjojudanto, putra tertua Soeharto, duduk sebagai Komisaris pada PT. Alas Helau yang memiliki HPH seluas 152.000 hektare di Kalimantan Timur. Sementara itu nama putra-putri Soeharto, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (mbak Tutut), Sigit Harjojudanto, dan Probosutedjo (saudara tiri Soeharto), muncul dalam stuktur PT. Redjo Sari Bumi yang luasnya mencapai 70.000 hektare. Mereka masing-masing menempati posisi sebagai Komisaris, Direktur Utama, dan Komisaris Utama.

Pada PT. Santi Murni, yang memiliki lahan HPH seluas 333.000 hektare di Kalimantan Timur, terdapat 11% saham milik Yayasan Hanurata (yayasan yang dimiliki Soeharto). Hal yang sama juga dapat dijumpai pada PT. Sumber Mari, yang memiliki lahan HPH seluas 202.000 hektare, Sigit Harjojudanto memiliki saham sebesar 10% dan Bambang Trihatmojo sebesar 40%.

Melalui keuntungan-kuntungan yang diperoleh dari konsesi hutan inilah Bob Hasan membangun kerajaan bisnisnya di luar sektor hutan. Kauntungan tersebut juga banyak dipakai untuk membiyai bisnisnya dengan keluarga Cendana. Bob Hasan memiliki saham sebesar 10% di perusahaan Nusantara Ampera Bhakti (lebih dikenal dengan Nusamba). Diperusahaan ini Sigit Harjojudano juga memiliki saham sebesar 10%. Sementara tiga yayasan yang didirikan oleh Soeharto, yaitu Yayasan Darmais, Yayasan Supersemar, Yayasan Dekab, memiliki saham sekitar 80%.

Kedekatan hubungan antara Soeharto dengan Bob Hasan semakin jelas saat pengusaha kayu ini diangkat oleh Soeharto menjadi ketua Assosiasi Pengusaha Kayu Indonesia (APKINDO). Assosiasi ini selama satu dekade di masa pemerintahan Soeharto telah menjadi organisasi kuat yang mengatur tata distribusi kayu Indonesia.

Uang yang mengalir ke dalam APKINDO tidak sedikit. Sebagai contoh assosiasi ini mengharuskan anggotanya untuk membayar setiap meter kubik plywood yang diekspor. Total uang yang dikutip adalah US$ 15/M3, yang meliputi biaya promosi sebesar US$ 10/M3 dan biaya pengurusan sebesar US$ 5/M3. Peraturan ini paling tidak telah mengalirkan uang kedalam tas APKINDO sebesar US$ 1 milliar antara tahun 1983 hingga 1993.

Bob Hasan ternyata mengangkangi juga soal pengapalan plywood yang akan diekspor ke luar negeri. Di dalam catatan intern APKINDO tertanggal 8 Januari 1993 dituliskan bahwa “pemesanan kapal langsung dilakukan melalui Karana Lines, dan oleh karenanya para pengusaha plywood tak boleh melakukan pemesanan sendiri.” Karana Lines ternyata sebuah perusahaan yang 33.2% sahamnya dikuasai oleh Bob Hasan dan 66.4% lainnya dikuasai oleh dua perusahaan yang juga dimiliki oleh Bob Hasan. Sementara saham sisanya, sebesar 0.2%, dikuasai oleh Nanang Bambang Sardjono Gatot Subroto, saudara dari ayah angkat Bob Hasan, Gatot Subroto.

Tak cukup dengan monopoli pengapalan kayu lapis yang akan diekspor ke luar negeri, melalui jalur APKINDO, Bob Hasan juga mengharuskan para anggotanya untuk mengansurasikan semua plywood yang mereka ekspor melalui perusahaan asuransi Tugu Pratama Indo. Saham perusahaan asuransi ini, sebanyak 35%, ternyata dikuasai oleh Nusamba, yang merupakan perusahaan keluarga Soeharto.

APKINDO ternyata juga mewajibkan para anggotanya untuk memasarkan barang mereka melalui jaringan pemasaran yang dimiliki oleh Bob Hasan, antara lain yang terletak di Singapore, Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang. Perusahaan pemeasaran yang terletak di Singapore dimiliki oleh Bob Hasan 100%.

Perlakukan sebagai “anak emas” kepada Bob Hasan di masa pemerintahan Soeharto semakin terbukti dengan diperbolehkannya ia meminjam dana pemerintah untuk reboisasi. Presiden Soeharto pada saat itu bahkan khusus membuatkan Kepres yang mengijinkan Bob Hasan mendapat pinjaman Rp 250 miliar untuk membiayai pembangunan pabrik kertas Kiani Kertas miliknya, yang membutuhkan dana US$ 1.1 milliar. PT. Kiani Kertas bahkan diberikan fasilitas tax holiday selama 10 tahun oleh pemerintah. Tatkala pemerintah melikuidasi beberapa bank swasta yang terbelit kredit macet, salah satunya adalah Bank Umum Nasional, yang merupakan milik Bob Hasan. Melalui mekanisme rekapitalisasi perbankan BUN memperoleh kucuran dana sebesar Rp 2 trilliun. Padahal kredit macet yang menimpa BUN tersebut banyak disebabkan oleh pembiayaan pabrik kertas milik Bob Hasan.

Sementara itu tiga dua kelompok usaha HPH lainnya, Djajanti, Kelompok Alas Kusuma dan Kelompok Kayu Lapis, kurang berhubungan dengan keluarga Soeharto di luar bisnis perkayuan.

Meskipun demikian, bukan berarti ketiga kelompok usaha ini tidak sama sekali melakukan praktek KKN dengan keluarga Soeharto atau dengan pejabat negara. Meskipun lebih sedikit dibanding Barito Pasific maupun Bob Hasan. Perusahaan Djajanti Djaja I dan Djajanti Djaja II, milik Djajanti Group, yang menguasai lahan HPH seluas 284,757 hektare di Kalimantan Tengah telah memberikan 1% saham kepada Sudwikatmono, saudara sepupu Soeharto. Konsesi Djajanti II telah dibatalkan oleh Departemen Kehutanan pada 8 Juli 1999.

Sementara itu PT. Maju Jaya Raya milik Alas Kusuma Group, yang menguasai 80,000 hektare HPH di Bengkulu telah menempatkan Dr. Ibnu Hartomo, saudara ipar Soeharto, sebagai Presiden Komisaris dan pemilik 10% saham pada perusahaan tersebut.

Meskipun Djajanti tidak banyak menempatkan keluarga Soeharto dalam kedudukan komisaris perusahaannya atau sebagai pemegang saham, namun Djajanti memberikan beberapa saham kepada mantan Menteri Pertanian Cosmas Batubara dan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

M. Husni Thamrin
Jakarta, 30 Desember 1999
(I wrote this article when I am working in Indonesia Corruption Watch)

No comments: