Tuesday, March 28, 2006

Pilkada dan Partisipasi Publik:
Langkah Membangun Semangat Melayani Kepentingan Warga

Oleh: M. Husni Thamrin


Mungkin dahulu tak pernah terbayangkan oleh kita dapat mencoblos dan memilih langsung pemimpin yang kita harapkan dapat menjadi “penyambung” keinginan kita. Kita hanya tidak menunggu “petunjuk,” entah dari “Bapak Presiden,” “Bapak Menteri,” gubernur, ataupun bupati dan melanjuti hari-hari kita dengan “tertib, aman, dan terkendali.” Jangan pula kita berharap mendapat kiriman SMS (short message service) kedalam telepon selular kita dari “Presiden RI” yang menghimbau kita untuk melawan penggunaan narkotik dan obat-obatan terlarang. Pada pokoknya pemimpin adalah orang yang harus ditiru dan dituruti tanpa basa-basi. Ia adalah tokoh mulia yang tanpa cacat dan tak tersentuh.

Mitos ini buyar tatkala Indonesia harus menghadapai krisis ekonomi tahun 1997. Bapak Pembangunan yang selalu dielu-elukan gagal meneruskan tradisi pertumbuhan yang selama ini ia agung-agungkan. Taklah heran ia tampak kuyu dihadapan IMF (International Monetary Fund) dan harus mengiba meminta fulus talangan bagi konco-konconya yang mengalami kredit macet. Kehilangan wewenang dan wibawa inilah, ditambah demontrasi mahasiswa besar-besaran dan penolakan beberapa pejabat yang dipilihnya menjadi menteri, membuat ia menyerahkan ”tampuk kekuasaan” kepada wakilnya BJ. Habibie.

Proses ini terus berlanjut dengan pemilihan umum 1999, yang memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mempunyai pilihan politik yang bebas sejak 32 tahun. Siapa saja dapat mendirikan partai politik sebagai saluran aspirasi mereka. Walaupun tentu saja untuk dapat ikut dalam pemilihan umum dan mendapat uang subsidi pemerintah mereka harus mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri dan lulus klarifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidaklah heran jika banyak kelompok dan masyarakat menganggap pemilihan umum 1999 sebagai batu pijakan pertama dalam menjalankan agenda reformasi. Polisi dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) mulai dikurangi perwakilannya di parlemen. Orang-orang yang ditunjuk oleh presiden untuk duduk di parlemen juga tak ada lagi. Di bidang ekonomi pemerintahan Habibie sebelumnya juga telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan dan Larangan Praktek Usaha Tidak Sehat, yang bertujuan menghapus praktek-praktek monopoli, kolusi, dan praktek-praktek usaha ”injak kaki” ala Orde Baru. Langkah ”berani” lain juga diambil oleh pemerintahan Habibie dengan memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya melalui jajak pendapat yang berujung pada merdekanya Timor Lorosae dari Indonesia pada tahun 1999. Tak hanya itu saja, dalam usia pemerintahannya yang pendek itu Habibie pun mendorong perancangan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan tingkat II (kabupaten/kota) untuk menjalankan roda pemerintahan mereka yang ”relatif” otonom dari pemerintah pusat.

Sekali lagi harapan masyarakat terlambung melihat kebijakan ini sebagai langkah berikutnya mewujudkan tuntutan reformasi. Tujuan utama dari desentralisasi adalah mendekatkan layanan publik kepada masyarakat dan memaksimalkan langkah pembangunan yang diambil oleh pemerintah daerah bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya desentralisasi diharapkan menjadi lebih transparan dan masyarakat lebih aktif terlibat dalam perencanaan pembangunan daerah. Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan dari sistem komando terpusat yang umumnya sarat dengan praktek rente dan korupsi. Selain itu desentralisasi juga dianggap sebagai jawaban terhadap rasa frustasi kegagalan proses penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang ditempuh melalui kebijakan terpusat.[1] Langkah ini banyak dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia, terutama pada negara-negara paska rezim otoritarian dan sentralistik.

Melalui desentralisasi daerah diberikan kewenangan untuk mengatur diri mereka sendiri dan mengeluarkan kebijakan (peraturan daerah) yang bertujuan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Sudah barang tentu apa yang dinamakan layanan publik memiliki cakupan yang yang luas. Ia dapat berupa pelayanan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang ingin mengurus surat tanda kelahiran, KTP, Surat Ijin Mengemudi (SIM), hingga proses perijinkan dalam membuka usaha. Pelayanan publik dapat pula menyangkut rasa aman yang dirasakan oleh warga masyarakat karena kinerja aparat kepolisian yang baik atau kekeluasaan dalam mengakses informasi yang diingini oleh masyarakat. Layanan publik pun dapat berarti peluang usaha yang seluas-luasnya bagi masyarakat, dimana pedagang kecil mendapat perlindungan dalam menjalankan usahanya dan tak lagi takut tunggang langgang dikejar oleh “pasukan ketertiban” milik pemerintah daerah. Guna mencapai pelayanan publik yang maksimal dan efisien, mau tidak mau program pembangunan yang dijalankan oleh pemerimtah harus mencerminkan aspirasi yang dimiliki pemerintah. Langkah ini dapat diawali dengan membuka diri terhadap aspirasi masyarakat.

Akan tetapi, setelah empat tahun penerapan otonomi daerah, toh kebijakan ini masih menuai banyak kritikan. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan semangat desentralisasi belum mampu memenuhi harapan masyarakat. Publik tak banyak dilibatkan dalam berbagai perencanaan pembangunan di daerah. Keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pembangunan atau pembuatan keputusan pembangunan, seperti dalam penyusunan anggaran misalnya, umumnya masih bersifat seremonial. Mengingat mengingat budaya paternalistik serta patron klien yang masih kuat pada kalangan masyarakat pedesaan (rural), sudah dapat dibayangkan keputusan yang dibuat masih bersifat top down. Partisipasi publik bagi kalangan eksekutif masih dipahami sebagai sebuah slogan. Tak jarang mereka menganggap jika berbagai keputusan yang akan mereka ambil harus melibatkan publik maka proses tersebut akan memakan waktu yang lama. Hal ini tak jarang membuat eksekutif maupun legislative acap kali memberlakukan berbagai keputusan yang mereka buat atau juga yang datang dari pemerintah pusat sebagai sebuah dokumen yang bersifat rahasia. Dalam buku panduan mengenai partisipasi yang diterbitkan oleh BUILD (Breakthrough Urban Initiative for Local Development) dirumuskan bahwa hak masyarakat dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik adalah:

a. Hak untuk diinformasikan.
b. Hak untuk memberikan masukan.
c. Hak untuk komplain.
d. Hak untuk mengawasi pelaksanaan.[2]

Dengan sendirinya hal ini memberikan dampak buruk terhadap berbagai pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Umumnya pemerintah menganggap berbagai kebijakan yang mereka buat sebagai sebuah keputusan final yang harus diikuti oleh masyarakat, take it or leave it. Fungsi pelayanan yang harus diberikan ikut terabaikan.

Bukti lemahnya pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat taklah sedikit. Contoh lain adalah survey yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang melakukan survey terhadap iklim investasi dan otonomi daerah berdasarkan persepsi yang dimiliki oleh para pelaku di dunia usaha. Pada survey terakhir yang dilakukan pada tahun 2004, faktor kelembagaan mengambil porsi sebesar 31 persen sebagai faktor penentu daya tarik invetasi daerah. Survey ini memang dilakukan berdasarkan persepsi dunia usaha yang diberikan daftar pertanyaan mengenai factor apa saja yang menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan daerah lokasi membuka usaha.[3] Akan tetapi jika kembali pada tujuan desentralisasi yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat maka keengganan dunia usaha untuk melakukan investasi di suatu daerah akibat proses perijinan atau kerumitan yang mereka harus hadapi ketika berurusan dengan lembaga pemerintah, mau tidak mau akan berpengaruh pada tertutupnya peluang lapangan kerja baru ataun pengolahan potensi alam daerah tersebut, yang akan berujung pula pada tertundanya kemajuan kesejahteraan masyarakat. Tak jarang pula instansi-instansi milik pemerintahlah yang menjadi tempat pemungut sumbangan-sumbangan ”liar” terhadap dunia usaha dan bercokolnya berbagai praktek korupsi.[4]

Taklah heran jika masyarakat kemudian mempertanyakan kegunaan otonomi daerah atau bahkan mafaat reformasi. Tak jarang ada juga masyarakat yang masih berangan-angan hidup di era Orde Baru, yang tinggal tahu beres asalkan mau ”nrimo.”

Tatkala persoalan busung lapar dan gizi buruk muncul di Nusatenggara Barat dan Nusatenggara Timur desentralisasi kembali menjadi kambing hitam. Kendali pemerintah pusat di bidang kesehatan yang terputus akibat adanya otonomi daerah dan membuat kebijakan kesehatan pemerintah pusat tak sampai ke daerah dianggap sebagai penyebab bencana. Bahkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengeluarkan pernyataan tentang perlunya megembalikan tanggung jawab pendidikan dan kesehatan pada pemerintah pusat.[5]

Namun apakah desentralisasi (baca otonomi daerah) sebagai sebuah sistem atau mekanisme tata pemerintah yang memang menjadi penyebabnya?

Suatu catatan menarik dibuat pada rubrik Catatan Akhir Pekan Tabloid Senior yang berjudul “Kesehatan buat Rakyat Kesrakat.” Inti persoalan kesehatan masyarakat bukanlah meributkan wewenang pusat atau daerah. Persoalan kesehatan erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan yang membuat masyarakat tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, baik dalam mendapatkan perawatan maupun pengobatan. Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang seharusnya berfungsi memberikan pelayanan belum melakukannya dengan baik.[6] Tatkala otonomi daerah diterapkan kucuran dana dan wewenang pemerintah pusat di bidang kesehatan memang diserahkan kepada pemerintah daerah. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang semula memiliki struktur hingga pedesaan kini hanya memiliki kantor di tingkat propinsi saja. Dengan sendirinya program posyandu yang semula ditangani oleh instansi ini menjadi terhenti pula. Pada masa sebelumnya adanya instansi ini hingga di tingkat pedesaan membuat tingkat gizi keluarga yang ada dapat terpantau dengan cukup baik.

Sudah barang tentu persoalan ini tak dapat diselesaikan dengan hanya mengembalikan keberadaan posyandu atau kantor BKKBN di pedesaan. Terlebih lagi banyak kritik yang mengidentikkan posyandu ataupun BKKBN dengan program Orde Baru. Persoalan yang lebih elementer adalah ”niat baik” pemerintah daerah untuk menjalankan wewenang yang telah mereka peroleh untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan mengurangi ”porsi wajib” yang harus mereka terima.

Selama ini cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api. Contoh yang baik lagi-lagi dapat kita kutip dari persoalan kesehatan, yang memang sedang hangat dibicarakan. Pemerintah daerah yang semula mendapat wewenang untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik, justru menguras anggaran belanja daerahnya untuk pembiayaan rutin seperti gaji pegawai dan anggota parlemen. Di Kabupaten Takalar misalnya, 57 persen anggaran dijatahkan bagi gaji pegawai dan hanya 3 persen yang diperuntukkan bagi kesehatan serta 1 persen untuk pendidikan. Di Kota Kendari yang memiliki APBD 2005 sebesar Rp 227,520 milliar, sebagian atau hampir tiga perempatnya diperuntukan bagi belanja rutin. Anggaran kesehatan hanya dijatah Rp 14 milliar, dan itu pun hanya sepertiga yang diperuntukkan bagi pelayanan publik, sementara selebihnya dimanfaatkan bagi motor dan mobil dinas, rehabilitasi perumahan dokter dan perluasan puskesmas.[7] Namun survey yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada dan Bank Dunia, yang dilakukan di delapan propinsi yang meliputi 32 kabupaten/kota serta 1.815 keluarga sebagai responden justru memberikan data bahwa adanya otonomi daerah telah meningkatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan administrasi.[8] Ini menandakan bahwa ada yang salah tatkala desentralisasi sebagai sebuah sistem dipraktekkan di beberapa daerah. Pemerintah daerah belum menjadi ”pelayan” masyarakat dan memberikan jasa layanan yang terbaik bagi masyarakat yang telah memilihnya. Suatu hal yang sesungguhnya ironis jika mengikuti hasil survey yang dilakukan oleh KPPOD, bahwa di Kabupaten Bengkalis, yang merupakan salah satu kabupaten terkaya di Indonesia, tetapi memiliki infrastruktur, terutama jalan raya, yang terburuk. Ada bahkan suatu usulan yang sedikit ’nyeleneh’ agar kinerja aparat birokrasi menjadi lebih baik, kata pemerintah seharusnya diganti dengan ”pelayan” daerah. Sehingga mereka tidak lagi merasa yang paling berkuasa dan paling benar.

Ada yang mengatakan bahwa kesalahan terletak pada model pemilihan kepala pemerintahan daerah. Selama ini, melalui mekanisme pemilihan kepala daerah dengan mengajukan nama-nama yang akan dipilih oleh para anggota DPRD dan disahkan oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dianggap belum mampu mewakili aspirasi publik dan sarat dengan kolusi dan nepotisme. Tak jarang pula tudingan terlontar bahwa mekanisme ini lebih mempertebal kantung para anggota DPRD daripada kepentingan publik. Oleh karenanya diusulkanlah suatu mekanisme pemilihan kepala daerah langsung, seperti yang dilakukan terhadap anggota DPR, DPRD, DPD, dan Presiden pada pemilu 2004. Wujud kongkrit dari usulan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan dilakukan mulai tingkat propinsi hingga kabupaten dan kota. Sejak Juni hingga Desember 2005 diperkirakan ada sekitar 20 propinsi dan 214 kabupaten/kota akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dengan asumsi bahwa melalui pemilihan kepala daerah secara langsung pasangan kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah relative mengenal dan memiliki pemahaman terhadap daerah serta disisi yang lain masyarakat relative mengenal dan dapat memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan harapan mereka, pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat memunculkan Gubernur. Bupati, atau Walikota yang mampu memajukan kesejahteraan publik.

Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) bukan hanya bertujuan membuat aspirasi masyarakat tersalurkan dan meningkat tetapi juga berharap agar aspirasi tersebut tersuarakan oleh para kandidat yang bertanding dan menjadi program pembangunan yang akan diwujudkan tatkala mereka terpilih. Selama ini berbagai program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di daerah banyak mendapat kritik karena tak mencerminkan kepentingan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Bahkan tak kurang berbagai program pembangunan yang ada hanya merupakan kepanjangan dari program pemerintah pusat atau meniru program-program yang berhasil di daerah lain.[9]

Namun apakah harapan tersebut terwujud?

Lagi-lagi kekecewaanlah yang muncul. Pada beberapa pemilihan kepala daerah animo masyarakat mengikuti pemilihan ternyata sangat rendah. Sebagai contoh adalah pemilihan yang dilakukan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 27 Juni 2005, yang berdasarkan pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) hanya diikuti sekitar 30% hingga 40% pemilih. Sekitar 55% pemilih yang terdaftar umumnya enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak mengenal calon kepala daerah.[10] Hal yang sama terjadi di Bengkulu pada saat dilakukan pemilihan gubernur. Masyarakat yang tak mendatangi TPS mencapai angka diatas 35%. Di kota Kendal pada saat melakukan pemilihan bupati pada tanggal 26 Juni 2005 bahkan hanya dihadiri oleh 423.429 pemilih yang mendatangi TPS dari 650.817 pemilih yang terdaftar. Sekali lagi fenomena ini menjadi ironi yang menyedihkan karena dengan tak mengenal calon yang maju sebagai kandidat kepala daerah maka mereka pun otomatis tidak akan tahu dan perduli terhadap program yang dikampanyekan oleh calon tersebut. Sudah dapat dibayangkan pula tujuan mulia mendekatkan calon kepada masyarakat yang akan memilihnya dan menyodorkan program pembangunan yang sesuai dengan harapan masyarakat semakin jauh.

Berbagai calon kepala daerah yang bertanding lebih mementingkan atribut pendukung agar mereka dapat menarik perhatian masyarakat dan terpilih. Tak jarang beredar isu mengenai beberapa kandidat yang membagikan uang kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa calon yang harus berurusan dengan pihak berwajib akibat penggunaan atribut atau material kampanye yang tidak berkenan dimata masyarakat. Satu calon bupati di Kabupaten Pangkep, Sulawesi, misalnya menggunakan Al Qur’an yang menggunakan photo dirinya pada sampul. Al Qur’an tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat guna meraih dukungan. Kasus yang sama juga terjadi pada mantan Bupati Bima Zainul Arifin, yang menaruh photo diri dan isterinya pada halaman depan Al Qur’an yang dibagi-bagikan kepada masyarakat. Dicurigai upaya tersebut dipakai sebagai alat meraih dukungan dalam pemilihan pilkada di Kabupaten Bima. Bukan itu saja, mantan bupati ini masuk dalam pemeriksaan polisi karena dicurigai dana pembuatan Al Qur’an tersebut diambil dari APBD 2003 saat ia masih menjadi bupati.

Dalam berbagai kampanye para kandidat berupaya meraih dukungan dan perhatian masyarakat dengan berbagai cara, misalnya dengan menampilkan baligo-baligo besar, spanduk, kaos, stiket, atau berpawai keliling kota. Namun hanya secuil yang menampilkan program, visi dan misi mereka. Lemahnya persiapan kandidat berkaitan dengan program dapat dicontohkan pada pernyataan kandidat walikota dan wakilwalikota Semarang, yang pada perhitungan awal tanggal 29 Juni 2005 telah memperoleh suara 73 persen, Sukawi Sutarip – Mahfudz Ali, menyatakan bahwa program 100 hari pertama mereka adalah evaluasi terhadap masukan maupun kritik yang datang dari masyarakat, LSM, dan bahkan kandidat calon walikota lainnya.[11] Hal ini menandakan pasangan ini tak memiliki visi dan misi maupun program sebelumnya yang siap ia jalankan. Proses evaluasi atau meminta masukan dari masyarakat maupun LSM ini toh dapat mereka lakukan sebelumnya tatkala menyusun program kampanye yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Tak sedikit pula yang menjadikan pilkada sebagai ajag coba-coba mengadu untung. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun tak dapat menahan air liurnya untuk ikut mencicipi ”kue” pilkada. Modal terpilih secara langsung pada pemilihan umum 2004 dan sedikit kemampuan keuangan dianggap sudah cukup untuk terjun ikut bertanding. Apa lacur, banyak diantara mereka yang rontok dan kalah dari calon yang memang telah disiapkan oleh partai politik sedari awal. Agaknya mereka lupa dengan logika yang berbeda dengan proses pemilihan umum 2004 lalu. Pada saat itu partai-partai politik tidak memiliki kepentingan atau menaruh perhatian yang serius terhadap posisi DPD. Namun dalam pemilihan pilkada persalan menjadi lain. Posisi bupati, gubernur atau walikota menjadi penting karena menyangkut akses terhadap sumber data financial guna menghadapi pemilihan umum 2009.

Kembali pada persoalan pemilihan kepala daerah, banyak yang menyatakan bahwa proses demokrasi, seperti yang diinginkan tatkala melakukan reformasi pada tahun 1998, telah di”bajak” dimana kekuatan elite politik Orde Baru muncul kembali ke panggung politik. Fenomena ini semakin terlihat dalam hasil beberapa pemilihan kepala daerah, walaupun dibeberapa tempat ada beberapa calon independen dan civil society muncul sebagai pemenang, seperti yang terjadi di pemilihan bupati Banyuwangi, namun kekuatan politik lama, yang direpresentasikan oleh Partai Golkar, umumnya muncul sebagai pemenang.

Tak ada yang salah jika Golkar mendominasi pemilihan kepala daerah sepanjang mereka memenuhi aturan main dan berlaku jujur dalam meraih dukungan. Namun tentunya ada yang salah tatkala representasi partisipasi publik dalam pesta pilkada tak lebih dari 40 persen. Bisa jadi mereka tak mengenal calon yang akan bertanding, seperti yang ditemukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jawa Timur, atau bisa saja mereka tak lagi perduli. Jika alasan kedua yang menjadi sebab maka sudah sepatutnya proses pemilhan kepala daerah langsung ini dicermati dengan seksama

Dengan adanya politik massa mengambang yang diterapkan oleh Orde Baru selama 32 tahun berkuasa membuat masyarakat kehilangan skill politic mereka. Padahal didalam demokrasi, politik adalah unsur pendorong yang utama. Masyrakat menjadi a politik, yang bahkan membuat Akbar Tanjung tatkala menjabat sebagai Ketua DPR dan diusik dalam kasus korupsi menghimbau agar kasusnya ”tidak dipolitisir.” Politik menjadi suatu kata yang harus dihindari oleh masyarakat, karena memiliki konotasi negatif.

Demokrasi merupakan suatu keharusan yang penting jika menginginkan perubahan dan kemajuan bagi masyarakat. Demokrasi membuka pasar yang seluas-luasnya bagi ide-ide politik baru yang ada di tengah masyarakat. Konflik atau perbedaan pandangan politik adalah hal yang biasa dalam sebuah demokrasi. Oleh karenanya tak perlu ditakuti jika ada perbedaan pendapat didalam demokrasi. Oleh karenanya demokrasi menjadi hidup jika partisipasi terbuka seluas mungkin dan masyarakat memiliki hak yang sama dalam proses partisipasi tersebut. Namun jika masyarakat tak antusias menyambut pesta demokrasi tersebut dan tak mau berpartisipasi berarti ada yang salah dalam mekanisme demokrasi tersebut atau masyarakat kecewa dengan tak terwujudnya aspirasi yang mereka inginkan.

Jika berbagai calon yang berkompetisi tak menjanjikan apa-apa untuk masyarakat dan tak juga mewujudkan cita-cita kesejahteraan yang diinginkan masyarakat, bisa saja masyarakat semakin apatis terhadap proses politik dan pilkada akhirnya hanya menjadi uji coba serta penggalangan kekuatan bagi pemilihan umum 2009 semata.

[1] Uraian yang menarik terhadap alasan dan tujuan pelaksanaan desentralisasi ini dapat dibaca pada draft yang disiapkan oleh James Manor untuk World Bank, “The Political Economy of Decentralization,” pada Agustus 1997.
[2] Buku panduan ini diterbitkan oleh BUILD dalam rangka kampanye bersama Apeksi, Apkasi, Adeksi, dan Adkasi, yang didukung oleh Depdagri, UNDP, dan UN-HABITAT. Lihat buku panduan Build, “Melegalkan Partisipasi: Mendayagunakan Aspirasi,” Edisi Desember 2002
[3] Hasil lengkap dari survey pesepsi dunia usaha terhadap iklim inveatasi di Indonesia ini ini dapat dilihat di website KPPOD, http://www.kppod.or.id/
[4] Lihat survey yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada tahun 2004, Indonesian Corruption Perception Index 2004.
[5] ”Kesehatan Perlu Resentralisasi,” 16 Juni 2005, http://www.kompas.co.id/
[6] Sam Lantang, “Catatan Akhir Pekan: Kesehatan buat Rakyat Kesrakat,” Tabloid Senior No. 309 / 17 – 23 Juni 2005.
[7] Lihat ”Otonomi dan Perut yang Membusung,” Majalah Mingguan Tempo, No. 17/XXXIV/20-26 Juni 2005.
[8] Ibid.
[9] Dalam beberapa kesempatan workshop atau pelatihan bagi anggota DPRD yang diadakan oleh Friedrich Naumann Stiftung yang bekerjasama dengan YPBHI di Sumatera atau GTZ – Promis di Nusatengara, beberapa peserta bahkan mengakui apa yang tertuang dalam renstra daerah mereka adalah copy paste dari materi workshop yang mereka terima di Depdagri atau Bappenas di Jakarta. Bahkan tak jarang ada beberapa kata yang mereka lupa ganti dan masih sempat tercetak.
[10] ”Golput Meningkat Calon Tak Dikenal, Warga Malas Datangi TPS,” 28 Juni 2005, http://www.mediaindo.co.id/
[11] Lihat 100 Hari Pertama Sukma – Tak Ada Perombakan Struktur Birokrasi, 29 Juni 2005, www.suaramerdeka.com