Friday, September 29, 2006

Ganti Topik

Cukup cape dan bingung juga ngelola tiga atau empat blog, dan ditambah dengan satu website. Kadang kecampur-aduk dan bingung, suatu artikel harus diposting dimana. Then, saya coba-coba memilahnya sedikit-sedikit dan muncullah percobaan ini. Tulisan yang ringan, lucu, tentang olahraga, atau tips, akan saya tulis disini saja. Sementara yang satunya lagi, Just Other Stories About Freedom, mungkin akan lebih serius. Mungkin dengan ini saya merasa lebih komplit.

Monday, August 28, 2006

"24" Raih Emmy Award

Buat yang sering tongkrongin Counter Terrorist Unit (CTU), di serial film "24" boleh sedikit berbangga. Serial yang telah berlangsung selama lima season ini meraih Emmy Award sebagai the best drama series dan best actor untuk Kiefer Sutherland.

Hati-Hati Dengan Kunci Hotel

Saya mendapatkan posting ini dari seorang kawan dan mungkin ada manfaatnya untuk kita. Saya sendiri sih biasanya malas kasih kunci ke front desk saat ingin keluar hotel. Tapi kalau baca isi nasihatnya, agak paranoid juga sih. Jangan-jangan malah kita yang kena denda hotel, dibebankan pada nomor credit card kita yang sudah dicacat hotel, KARENA MEMBAWA KABUR KUNCI HOTEl........kan nggak lucu juga.

Isi pesannya mungkin bisa lebih sederhana, HATI-HATILAH KALAU CECK IN, jangan sampai copy lembar pemakaian credit card ketahuan istri....he......he....


________________________________
For information.

I did not realize that hotel room keycards contained so much information. Sounds like a good advice. I am sure I won't leave my key card anymore. You know how when you check out of a hotel that uses the credit-card-type room key, the clerk often will ask you to return your key(s)...or to drop in a box or slot at the Reception counter?

It's good for the hotel because they save money by re-using those cards. But,it is not good for you, as revealed below by the California Bureau of Investigation:"Southern Californialaw enforcement professionals assigned to detect new threats to personal security issues, recently discovered what type of information is embedded in the credit card type hotel room keys used throughout the industry. Although room keys differ from hotel to hotel, a key obtained from a wellknown hotel chain that was being used for a regional Identity Theft Presentation was found to contain the following the information: a. Customers (your) name b. Customers partial home address c. Hotel room number d. Check in date and check out date e.Customer's (your) credit card number and expiry date!

When you return them at the front desk your personal information remain there for any employee to access by simply scanning the card in the hotel scanner. An employee can take a handfull of cards home and using a scanning device, access the information onto a laptop computer and go shopping at your expense.

Simply put, hotels do not erase the information on these cards until an employee re-issues the card to the next hotel guest. At that time, the new guest's information is electronically "overwritten" on the card the previous guest's information. But until the card is reused for the next guest, it usually is kept in a drawer the front desk with YOUR INFORMATION ON IT!!!!The bottom line is: Keep the cards, take them home with you, or destroy them. NEVER leave them behind in the room or room wastebasket, and NEVER turn them in at the front desk when you check out of a room. They will not charge you for the card (it's illegal) and you'll be sure you are not leaving a lot of valuable personal information on it that could be easily lifted off with any simple scanning device card reader. For the same reason, if you arrive at the airport and discover you still have the card key in your pocket, do not toss it in an airport trash basket. Take it home and destroy it by cutting it up, especially through the electronic informationstrip!

Information courtesy of: Pasadena Police DepartmentSEND TO ANYONE YOU WOULD LIKE TO HELP

Tuesday, August 22, 2006

First Day After A Long Holiday

Paling tidak enak dan mungkin nyaris bagai siksaan, adalah masuk kerja setelah liburan panjang. Libur 17 Agustus, hari kejepit 18 Agustus, dan Isra Mi'raj 21 Agustus. Blank....!! dan yang pertama dilakukan adalah memeriksa email (sudah barang tentu menumpuk).

Saya harus mencek online seminar New Public Management (NPM) yang saya ikuti. Untungnya tugas yang masih harus diselesaikan hanyalah menulis essay. Jadi hari ini saya hanya memberi komentar terhadap tulisan-tulisan yang ada didalam "forum." Situs Kedai Kebebasan agak bermasalah hari ini, jadi ada waktu untuk mencek dan mengerjakan yang lain. Paling tidak satu hari tidak bingung memilih artikel apa yang akan dimuat disana.

Well, Liverpool have to be win tonight otherwise they will lose 10 millions Euro. No local tv channel broadcast this match...huh......

Let's be a positive in the middle of SBY's August 16th debate, whether Indonesia poorest population reduce, remains the same or even highest than before. Who's should be blame? We need a prove and not just as a simple asking for impeachment.

Anyway, ada yang kena denda juga saat tidak mengibarkan bendera Republik Indonesia saat perayaan Hari Kemerdekaan,..... hari giniiiiiii.....???

Friday, July 28, 2006

Perda Anti Rokok

Coba untuk kucing-kucingan dengan Perda Anti Rokok...?

Ingat perda anti rokok yang dikeluarkan pemerintah daerah DKI Jakarta? Sekarang susah juga mencari tempat merokok di Jakarta, salah-salah kena hardik petugas polisi pamong praja (by the way mereka lebih galak dari polisi resmi atau "ibu tiri" lho). Hampir semua mall dan pertokoan ada larangan merokok, disediakan tempat kecil terpojok di sudut gedung, meskipun didalam restoran yang ada di mall. Kenapa sih tidak seperti dulu ada smoking dan non smoking place atau tempat duduk? Ingat lagu...."perokok juga manusia....!!!!"

It is unfair, kita para perokok kan pembayar pajak yang rutin dan tertib, setiap membeli sekotak atau satu slop rokok, kok justru yang mendapat diskriminasi? Yang tak merokok justru tak membayar pajak kan?

Konflik di Lebanon

Berita terakhir yang dilansir oleh Associated Press pada siang hari ini mengatakan bahwa pemerintah Israel memutuskan untuk sementara tidak mengembangkan lebih jauh pertempurannya dengan kelompok Hezbollah di daerah bagian Selatan Lebanon. Namun niat ini agaknya masih harus dipertanyakan, karena otoritas militer Israel pada saat yang bersamaan memanggil pasukan cadangan mereka sebanyak 30,000 serdadu, yang akan dikerahkan jika pertempuran berkembang menjadi lebih hebat.

Sementara itu pemerintah Lebanon mengatakn sekitar 600 orang penduduk sipil telah tewas akibat pertempuran yang terjadi, dan tampaknya pertikaian yang terjadi tak juga menunjukkan indikasi akan berhenti dalam waktu dekat, meskipun Secretary of State Amerika Serikat Condoleezza Rice berkata bahwa ia ingin dan siap untuk kembali ke kawasan ini untuk melakukan dialog.

Kita tunggu saja, yang jelas bagi pemerintah Indonesia, untuk mengurus pemulangan satu jenazah tenaga kerja Indonesia yang tewas di Lebanon, masih belum becus dan berlarut-larut prosesnya. Lebih-lebih lagi keluarga korban terlambat diberitahu.

Tuesday, July 25, 2006

Pemerintah Akan Membentuk Komite Privatisasi

Suatu hal lucu di negeri ini adalah segala sesuatu dianggap akan menjadi beres kalau ada "komite." Banyak sudah komite terbentuk dan masalah yang ada toh belum terselesaikan.

Kembali pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara, akan membentuk komite, yang kali ini mengambil nama kimte privatisasi. Tentu saja sudah dapat ditebak, bertujuan menangani persoalan privatisasi. Lembaga baru ini dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 19/2003. Menteri Negara BUMN Sugiharto mengatakan paing lambat bulan Agustus komite ini akan terbentuk, berdasarkan peraturan presiden (Pepres).

Komite ini sendiri akan beranggotakan Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan, menteri-menteri teknis, dan diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian.

Teknis pelaksanaan dan tugas yang dimiliki oleh komite ini memang belum jelas, namun jika menilik nama komite yang dipakai, maka institusi ini akan bersifat sementara karena memakai nama "komite." Lain soal jika ada pemahaman lain.

Satu hal positif adalah, bergabungnya berbagai menteri yang terkait dengan persoalan privatisasi dalam satu komite ini, paling tidak memberi harapan munculnya kesepahaman diantara mereka. Sudah bukan rahasia lagi jika selama ini acapkali muncul ketidaksepahaman diantara mereka berkaitan dengan soal privatisasi.

Berita terkait dapat lihat pada www.tempointeraktif.com tentang "Komite Privatisasi Akan Dibentuk Juli."

Tuesday, July 18, 2006

Korban Tsunami Mencapai 262

Tsunami yang melanda pantai Selatan pulau Jawa akibat gempa di lautan Hindia Senin, 17 Juli 2006 kemarin telah memakan korban sekitar 292 orang. Tak hanya itu, sekitar 160 orang masih dikabarkan hilang akibat tsunami yang melanda sebagian besar resort yang berada di tepi pantai serta perkampungan nelayan tersebut.

Simak up date beritanya pada http://cbs5.com/national/local_story_198235426.html

Friday, June 30, 2006

World Cup dan Ekonomi Pasar

Piala Dunia Germany, 2006, tak terasa telah memasuki babak perempat final. Tak ada kejutan yang berarti. Tim-tim yang semula diperkirakan akan sampai pada babak ini benar belaka. Tuan rumah Jerman akhirnya harus menghadapi Argentina (sayang sekali sudah terjadi pada babak ini), Inggris akan menghadapi Portugal, Italia versus Ukraina, dan Brazil akan berhadapan dengan Perancis. Tak ada "kuda hitam" yang muncul dari benua Afrika maupun Asia kali ini.

Fenomena piala dunia sepak bola ini menarik bagi saya. Ia menjadi cermin kekuatan dan faedah globalisasi dan ekonomi pasar. Hampir tak ada sudut didunia ini yang pada sat ini tak "bersuara" atau "berbau" piala dunia. Cafe, hiburan malam, atau tempat berkumpul yang tak menyediakan tayangan sepakbola melalui televisi atau screen besar, sepi dikunjungi. Televisi dan antena penerima sinyal siaran televisi sedang laku-lakunya dipasaran. Jutaan produk dan merchandise yang berkaitan dengan piala dunia diproduksi massal untuk melayani hajatan empat tahun sekali ini.

Sebagai sebuah produk, penyelenggara piala dunia pun dengan memanjakan penonton baik yang langsung datang di stadion maupun yang menonton melalui televisi. Stadion-stadion yang diapaki bertanding telah disiapkan lama dan direnovasi untuk memberikan kenyamanan bagi penonton. Sempat pula FIFA meminta untuk mengubah tata pencahayaan di stadion, setelah pertandingan awal, karena dianggap masih belum memuaskan penonton televisi. Penonton dimanjakan dengan servise yang memuaskan agar produk tersebut disukai dan dinikmati dengan sempurna. Beberapa wasit yang dianggap tak becus memimpin pertandingan pun dipulangkan.

Konsumen pun menjadi raja. Masih ingat tatkala banyak penonton memprotes pada salah satu stasiun televisi di Jakarta yang satu-satunya memiliki ijin untuk menyiarkans ecara langsung di Indonesia, untuk mengganti penyiar yang dianggap tak becus berbicara soal sepakbola? "Sihir" piala dunia sepakbola mampu membangkitkan kesadaran konsumen akan haknya.

Piala Dunia sepak bola juga cermin less state intervention. Pembukaan hajat besar ini hanya dilakukan oleh legenda sepakbola Brazil, Pele, dan seorang model Claudia Schiffer. Seorang kanselir Jerman, Raja Spanyol, atau Presiden Irak harus rela hanya sebagai penonton, sama dengan para artis selebriti yang menjadi kekasih atau isteri para pemain.

Pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena ini adalah, pasar ekan berkembang dengan lebih baik dan menguntungkan konsumen jika diberi keleluasaan dan tak mengalami intervensi negara.

Wednesday, June 07, 2006

A Lonely Hero's in Alor Island


Patung ini simbol Kabupaten Alor, sebuah pulau terpencil nun diujung pulau Timor dan lebih dekat dengan Timor Lorosae.

Namun jangan mengira karena ia sebuah simbol akan mendapat perawatan yang layak. Tidak....!!, ia hanya berdiri kesepian mengacungkan tombak di sebuah taman yang juga tak terawat. Kakinya dipenuhi "tatoo" tulisan anak-anak iseng yang lewat. Mungkin pemerintah daerah tak memiliki budget perawaran.

Alor sesungguhnya pulau yang cantik, dengan hamparan pasir putih memanjang sepanjang pantai. Batu-batu koral berwarna-warni dengan mudah dijumpai (tinggal ambil.....). Ikan kerapu pun berharga murah, yang dapat dibakar dan dimakan di tepi pantai dengan didorong hirupan air kelapa hijau nan menyegarkan. Beberapa photo tentang Alor akan hadir....

Back into Bussiness

Setelah "istirahat" yang cukup panjang, layaklah sudah untuk kini kembali pada bisnis "mengisi" dan "meramaikan" blog ini.

Dari hari ke hari peristiwa besar kecil datang silih berganti. Bencana alam gempa bumi yang menimpa Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah menjadi derita baru ditengah kekhawatiran akan bencana Gunung Merapi. Mantan presiden Soeharto pun keluar dari perawatan sementaranya di RS. Pertamina. Ada yang mengatakan, konon, bencana ini adalah tumbal bagi kesehatan Soeharto.

Tanggal 6 Juni 2006, diterjerjemahkan menjadi 666. Number of the Beast (mengutip syair lagu Iron Maiden "The Number of the Beast"). Banyak yang meramal akan adanya bencana pada tanggal tersebut dan menimpa ibukota Jakarta. Tak kurang tokoh paranormal yang menjadi anggota DPR-RI, Permadi, pun urun "bacot" menyuarakan terjadinya bencana. Jalan pun menjadi sepi selama dua hari, tanggal 5 dan 6 Juni 2005. Sentul - Jakarta yang biasanya memakan tempo 1,5 jam, hanya membutuhkan 60 menit pada saat itu. Hingga tanggal 7 Juni 2006 ramalan pun tak terbukti. Namun ketakutan telah menghantui sebagian warga ibukota. Pertanyaanya apakah komentar seorang tokoh politik bisa didasari ramalan ahli nujum atau dukun?

Hari ini Indonesia Corruption Watch kembali melaporkan 13 hakim agung kepada Komisi Yudisial akibat vonis bebas perkara korupsi yang mereka berikan. It's like a never ending story. Dan boss texmaco, Sinivasan, pun melarikan diri ke luar negeri!!! Agaknya SBY - KALLA harus memecat semua hakim dan menggantikannya dengan yang baru serta merombak struktur serta staff imigrasi dengan robot yang tak mempan suap (atau suap akan diberikan pada programmer...!?).

Our son Rasheed Amagi is 48 days now with 5,5 kilogram weight....his photo's will comimng soon.

Monday, May 15, 2006

Friedrich August von Hayek

Peran Friedrich August von Hayek pada akhir abad ke-20 seiring dengan runtuhnya sosialisme mungkin dapat dikatakan mirip hampir mirip dengan peran yang dimainkan oleh Adam Smith pada abad ke 18, yang memberikan pencerahan dan penekanan pada kekuatan kreatif dari kebebasan dan ekonomi pasar. Ia bahkan dianggap sebagai figure kunci di abad ke 20 bagi kemunculan kembali liberalisme. Dengan sendirinya, sumbangan dan peran besar yang dimainkan oleh Hayek dalam penyebarluasan ide dan tatanan kebebasan membuat ia menjadi musuh nomor 1 dari kelompok sosialis. Mulai dari karyanya yang terkenal “The Road to Serfdom” (1944), “The Constitution of Liberty” (1960) hingga “The Fatal Conceit: The Errors of Socialism” (1989), gagasan Hayek tentang kapitalisme global memberikan pengaruh yang tak sedikit kepada para pemikir dan filsuf terkenal seperti K. R. Popper dan Robert Nozick. Bukan itu saja gagasan-gagasanya pun memberikan kontribusi pengaruh yang tak sedikit terhadap para pemimpin politik di Timur maupun Barat, seperti Ludwig Erhard, Margaret Thatcher atau Ronald Reagan, dan Vaclav Klaus dari Republik Czech, Leszek Balcerovicz dari Polandia, dan Mart Laar dari Estonia, serta banyak lagi yang lainnya. Oleh karenanya sekali lagi Hayek menjadi target yang terkenal dari para kelompok sosialis, proteksionist, dan belakangan para pengkritik globalisasi dan neo-liberal.

Hayek memberikan kontribusi yang tak sedikit terhadap perdebatan yang menyangkut spontaneous order dan limits of knowledge. Pemikiran Hayek juga memberikan kontribusi pemahaman yang menyangkut kebijakan kompetisi dalam konteks pasar terbuka, konstitusi dan desentralisasi system politik dan kontrol terkadap kekuasaan. Kompetisi oleh Hayek dianggap sebagai prosedur terbaik bagi pencarian solusi baru dan terbaik, dan memberikan kesempatan yang terbaik bagi setiap individu dalam mengejar kebahagian hidup mereka.

Sumbangan Hayek terpenting lainnya muncul pada arena politik dengan keterlibatannya dalam pendirian “Mont Pelerin Society” pada 10 April tahun 1947. Dengan mengundang sekitar 36 orang yang kebanyakan merupakan ekonom, sejarahwan, filsuf, untuk hadir di Mont Pelerin, Switzerland, Hayek mengajak mereka mendiskusikan mengenai negara dan penerapan liberalisme baik sebagai sebuah pemikiran maupun didalam praktek.

Hayek dilahirkan pada tanggal 8 Mei tahun 1899, di Vienna, Austria putra dari Dr. August von Hayek, Professor ilmu Botani pada University of Vienna. Friedrich August von Hayek died on March 23, 1992. Ia menerima penghargaan The Bank of Sweden Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada tahun 1974 untuk kategori ekonomi bersama-sama dengan Gunnar Myrdal

Dibawah ini adalah beberapa diantara karya yang dihasilkan Hayek.

Geldtheorie und Konjunkturtheorie, Wien, 1929, also in English as Monetary Theory and the Trade Cycle, London, 1933, as well as in Spanish and Japanese translations.
Prices and Production, London, 1931, also in German, Chinese, French and Japanese translations.
Monetary Nationalism and International Stability, London, 1937.
Profits, Interest, and Investment, London 1939.

The Pure Theory of Capital, London, 1940, also in Japanese and Spanish translations.
The Road to Serfdom, London and Chicago, 1944, also in Chinese, Danish, Dutch, French, German, Italian, Japanese, Norwegian, Portuguese, Spanish and Swedish translations.
Individualism and Economic Order, London and Chicago, 1949, also in German and an abridged Norwegian translation.
John Stuart Mill and Harriet Taylor, London and Chicago, 1951.
The Counter-Revolution of Science, Chicag,o 1952, also in German, Italian and an abridged French translation
The Sensory Order, London and Chicago, 1952.
The Constitution of Liberty, London and Chicago, 1960, also in Spanish, German and Italian translations.
Studies in Philosophy, Politics, and Economics, London and Chicago, 1967.
Law, Legislation and Liberty, vol. I, Rules and Order, London and Chicago, 1973


Anda dapat mengunjungi beberapa website dibawah ini yang memuat informasi mengenai F.A. Hayek

www.kedai-kebebasan.org
www.hayekcenter.org,
www.mises.org/hayekbio.asp
www.fnst.org


Wednesday, May 10, 2006

Indonesia and Corruption
Based on “THE HISTORY OF CORRUPTION IN INDONESIA” by Muhammad Husni Thamrin


Pushed by the stronger demand of democracy and the recognition to human rights, as well as the public participation in public policies; the reform movement requires a clean government in order to have a good governance.


However, the problem is apparently the slow process of the settlement of KKN cases. The Attorney General even seems to be reluctant in probing the KKN cases that involve Soeharto and his cronies. None of the big scale cases that are handled by the Attorney General, namely the KKN cases of Soeharto and his family, Bank Bali, Andi Ghalib, Texmaco, BLBI, Goro, etc., has been completely settled by this legal institution.

It seems that corruption problems have to be perceived in the system framework. Corruption is the result of an economic and political system that is run by the centralized and repressive modern government mechanism.

Definition on Corruption

In June 1999, The Coordinating Minister of Supervision and Development defined KKN as the collusion and nepotism practices among officials and the private sectors that contain the corruption element or privileges. Whilst the operational limit of KKN was defined as the disbursement of facilities or privileges by the government official and State or Regional Owned Company to an economic unit/legal body owned by the respective officials, their families and friends.

How is corruption taken into practice?


Onghokham said that there are two dimensions where corruption works. The first one happens at the higher level, involving the authority or government officials and includes vast amount of money. The other dimension generally happens at the middle and lower levels, usually deals with the public interest. The complicated process of getting licenses, ID cards, driving licenses, immigration documents, or even illegal fees collected by bad police officers are some of the examples.

Corruption in the Dimension of Indonesian History


In 1799 the Dutch trade association VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) cynically reworded as Verhaan Onder Corruptie collapsed due to corruption. Naturally, a trading company like VOC prohibited their workers to involve in trading. But with the excuse of small pay, it was common if some VOC officials had a side business with the Portuguese, Indian, or French traders.

This corruption matter did not end when the Dutch Indies replaced VOC. The bureaucracy system of Dutch Indies that recognized dual system, namely Bestuurs Beambten (BB) and Pangreh Praja (Civil Servants), triggered another kind of the corruption.

During the Forced Labor period, 1830-1870, the native residents were obliged to plant several kinds of crops that were popular in the European market on one third of their land. However, some community leaders such as village chief and regent in charge of the Forced Labor compelled the farmers to plant the crops on 2/3 of their lands.

Forced Labor was abolished in 1870 and replaced with a liberal economic system, where the capitalists were allowed to own lands, and able to rent properties from the local people or the government. Communal paddy fields were starting to be rented out by the village chiefs, where they could make profit. On the other hand, salary earned by the civil servants remained to be low. At the same time, being part of the Dutch Indies government and traditional bureaucracy system, those civil servants ought to maintain their high profile lifestyle. They were alleged to receiving many kinds of levies from the people to support their living.

The period of Japanese invasion was believed to be the time when corruption ran high. The Japanese occupational government exploited Indonesia and its resources for the interest of the Ad Nippon warriors. It was difficult to get staple food and/or clothing back then. But if anyone were willing to be the Japanese propagator, it would be “a bit easier”.

The effort to nationalize foreign companies in 1951 brought a new problem into existence. Before that decree was enacted in 1958, the military, the army in particular, had seized those companies by force. On December 13, 1957 Major General A.H. Nasution (the Army Head of Staff at that time) issued a restriction on occupying Dutch companies without the consent of the military and put those seized companies under the military supervision.

Before that decree on nationalization came to existence, Politik Benteng (Fortress Politic) policy was implemented. Based on this policy, the native businessmen were given loans and facilities, a license to import goods were one of them. They were hopeful that profit earned from the sale of imported goods could be used as a capital for business expansion. On the contrary, what came into existence were the collusion, corruption, and nepotism (KKN) practices. License was only issued for the businessmen closed to the government and dominant political power.

Controlled democracy that was then exercised by Soekarno failed to deal with disintegration of the state administration. The state apparatus did not work well and corruption was even more rampant.

The New Order regime, the economic growth was the main target of the New Order regime. Leaking or corruption matters were secondary.

Soeharto era was colored by three interesting phenomena. Firstly, the cooperation between military leaders and businessmen of the Chinese descends. Secondly, the competition between indigenous and non-indigenous businessmen. Thirdly, the influence of state owned companies under the control of military versus the technocrats who supported the liberalization and Western intervention.

Agreements made with administrative bureaucracy became subject to the approval of the army officials. Military held a crucial role in the issuing of contracts license, decision on projects, etc. The economic resources they obtained from the increase oil price and from the state owned companies, as well as their cooperation with non-indigenous/Chinese businessmen supported the absolute military power when the New Order just resumed to power. Although in 1966 Indonesia had been widely open for foreign investment, the overflowing proceeds from petroleum in early 1970 generated enough fund for the New Order to finance its development and political programs.

Pertamina was the primary supporter of Soeharto and New Order. Under the management of Ibnu Sutowo, Pertamina operation was kept secret and its annual financial report was never published. Soeharto and the army had very big interest over Pertamina. As what Richard Robison said that Pertamina had become a channel where money flowed for the government to finance its political expenses.

In January 1970 some Indonesian student organizations protested against corruption in the government body, the corruption practices still went on and got even worst. The government controlling body, such as the House of Representatives, Auditors, or the Attorney General and State Apparatus Controlling Body, and the legal instrument installed to fight against corruption, Decree No.3/1971 on abolishment of corruption, were not functioning as expected.

In early 1980-s the forestry sector, became the new arena of looting for Soeharto and his cronies. In early 1980-2 we knew of the terminology “Green Gold”.


Based on the survey conducted by a US researcher named David W. Brown, up to the end of 1995, the forestry plantation in Indonesia amounted to 62 millions hectares and there were five big companies holding HPH concession. Those five HPH concession holders controlled the total area of 18 million hectares. That size meant that 30 percent of the total existing HPH were managed by 585 concession holder companies. Based on that research, two of HPH concession holders surrendered their shares and management to Soeharto’s family. The two companies are Barito Pacific group and Bob Hasan group.


Conclusion

Indeed KKN practices dethroned Soeharto in 1998. The economic crisis that arrived in 1997 was a manifestation of the New Order economic policies that were weighed down by KKN and its dependent on foreign capital and foreign economic aid.

The eradicating of corruption, collusion, and nepotism (KKN) was one of the agenda fought for by the 1997- reform movement. This abolishment is intended for the probing of KKN practices committed by Soeharto and his cronies in the New Order era.

Some legal instruments that regulate the abolishment of corruption and creating a clean government was soon installed by Habibie when he resumed to power in Soeharto’s position. The instruments are as follows:

1. MPR Decree No. XI/MPR/1998 about the running of a clean government.

2. Decree No. 28/1999 about the running of a KKN free government.

3. President Instruction No.30/1998 about the forming of commission for inspection of
the official wealth.

4. Idea of forming a Commission on Eradicating Corruption.

Based on MPR Decree No.XI/MPR/1998 in fact Habibie received a mandate to eradicate corruption and to probe into Soeharto KKN cases as soon as possible. However, it was not clear as to why no evidence was found to bring Soeharto to court.


Therefore, the withdrawal of the warrant letter to investigate and to probe on Soeharto (SP3) by Marzoeki Darusman, the new Attorney General, shed a light to the hope of probing and abolishing corruption in Indonesia. Government ability to settle this case on Soeharto will become the point of no return, to prove that this new regime has the will power to eradicate corruption.
Review Addicted To Rent


Nafsu menjarah dan mengeksploitasi hutan Indonesia, guna mempertebal kocek uang mereka, bukan hanya dimiliki oleh putra-putri dan sanak keluarga Soeharto saja. Pada masa “babe pembangunan” ini berkuasa para kroni beliau pun turut menjarah dan menikmati hasil hutan tropis Indonesia.

Seorang peneliti asal Washington, Amerika Serikat, David W. Brown, baru-baru ini menyelesaikan sebuah penelitian tentang praktek pat gulipat yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya di sektor kehutanan. Penelitian tersebut, yang berjudul Addicted to Rent: Corporate and Spatial Distribution of Forest Resource in Indonesia; Implication for Forest Sustainability and Government Policy, menyoroti praktek KKN yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH dan mantan presiden Soeharto.

David Brown adalah peneliti asal Amerika Serikat yang bekerja pada Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme.

Berdasarkan laporan penelitian tersebut, ternyata diantara lima perusahaan HPH swasta terbesar, dua diantaranya menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto. Kedua perusahaan tersebut adalah Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan. Dengan praktek semacam itu diduga kedua kelompok besar ini telah menyumbang miliaran dollar ke dalam kocek keluarga Soeharto.

Penelitian tersebut juga mencatat bahwa lima perusahaan pemegang konsesi HPH tersebut, Barito Pasific, Djajanti, Alas Kusuma, Kayu Lapis Indonesia (KLI), dan Bob Hasan group, berdasarkan data yang didapat hingga akhir tahun 1995, mengontrol seluas 18 juta hektare HPH di seluruh Indonesia. Luas tersebut berarti merupakan 30 persen dari luas seluruh HPH sebesar 62 juta hektare yang dikuasai oleh 585 perusahaan pemegang konsesi hutan.

Satu hal yang patut dicatat adalah, akibat adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, yang terjadi antara beberapa perusahaan raksasa pemegang HPH tersebut dengan Soeharto, maka pendapatan dari sektor hutan yang seharusnya mengalir ke dalam kas negera berpindah tangan ke dalam kantung keluarga Cendana.


Kelompok Barito Pasific
Kelompok Barito Pasific merupakan kelompok swasta pemegang konsesi HPH terbesar di Indonesia. Salah satu alasan mengapa konglomerat ini mendapat begitu banyak konsesi adalah, ia mau menyediakan saham dan kedudukan di dalam struktur perusahaannya kepada keluarga mantan presiden Soeharto.

PT. Barito Nusantara Indah merupakan salah satu anak perusahaan Barito Pasific yang memberikan saham kepada keluarga Soeharto. Perusahaan yang memiliki lahan seluas 95.000 hektare di Kalimantan Timur ini menempatkan Ibnu Hartomo, saudara kandung Ny. Tien Soeharto (alm), sebagai Komisaris Utama.

Sementara itu Bernard Ibnu Hardojo, juga saudara kandung Ny. Tien Soeharto, didudukkan sebagai Direktur pada anak perusahaan BPT yang lain, PT. Panambangan, yang memiliki lahan HPH di Kalimantan Tengah seluas 65.000 hektare.

Barito Pasific , yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu, agaknya memang ingin berdekat-dekat terus dengan mantan orang kuat Orde Baru ini. Terbukti Indra Rukmana, suami dari Mbak Tutut (putri tertua Soeharto), juga ditempatkan sebagai Presiden Direktur pada PT. Sangkurilang Bakti, yang memiliki HPH di Kalimantan Timur seluas 110.000 hektare.

Hubungan antara Barito Pasific dengan mantan presiden Soeharto dimulai pada tahun 1980-an, saat Barito membeli hak atas 35 konsesi kayu yang dimiliki oleh perusahaan lain. Hal ini dapat terjadi karena campur tangan Soeharto. Barito Pasific bahkan mendapatkan kemudahan pinjaman dari tiga bank milik pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bapindo, dan Bank Dagang Negara. Pada tahun 1991 Barito Pasific mendapat subsidi dari perusahaan hutan milik negara, Inhutani II, sebesar US$ 45 juta dan pinjaman dari Bank Bumi Daya sebesar US$ 550 juta.

Berdasarkan laporan joint committee antara Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan pada tahun 1994, Barito Pasific adalah perusahaan swasta yang memiliki utang terbesar di bank-bank pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut jumlah utang Barito Pasific kepada bank pemerintah adalah Rp 3,8 trilliun. Rangking ini turun pada tahun 1999 ke posisi nomor tiga di belakang dua anak laki-laki Soeharto. Namun David Brown percaya bahwa berdasarkan data yang ada di Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), Barito Pasific adalah konglomerat keenam yang memiliki utang besar pada bank-bank milik negara.

Selain mendapat kemudahan pinjaman dari bank-bank milik negara, konsesi-konsesi yang dimiliki oleh Barito memang telah memberikan peghasilan yang melimpah bagi Parjogo Pangestu. Dari penghasilan tersebut Prajogo mampu menghidupkan dan membesarkan bisnisnya, serta membiayai hubungan-hubungannya dengan Soeharo.

Pada tahun 1991 Barito telah mengeluarkan uang sebesar US$ 220 juta untuk mem-bail out Bank Duta. Bank Ini merupakan milik Nusamba, yang meupakan sebuah holding dengan 80 persen saham dimiliki oleh tiga yayasan terbesar mantan Presiden Soeharto. Konglomerat yang lain Salim Group, yang juga merupakan pemegang konsesi hutan terbesar ke enambelas, ikut membantu Barito Pasific mem-bail out Bank Duta.

Barito Pasific juga memberikan dukungan, melalui Barito Pasific Delta Mustika, saat Soeharto memerintahkannya untuk mem-bail out Astra, yang saat itu terkena ancaman bangkrut akibat kegagalan proyek bank pedesaan antara Bank Summa dengan Nahdlatul Ulama.

Keuntungan yang diperoleh Barito Pasific dari konsesi kayu juga dipergunakan untuk membangun kerjasama bisnis dengan dua orang anak Soeharto. Pabrik pulp milik Barito Pasific, PT. Tanjung Enim Lestari, yang bernilai sekitar US$ 1.1 milliar, telah memberikan sekitar 15% saham kepada amak perempuan Soeharto, yang juga mantan Menteri Sosial, Siti Hardijanti Rukmana., alias Mbak Tutut. Mbak Tutut juga memiliki saham sekitar 35% pada PT. Musi Hutan Persada, yang mengelola perkebunan penghasil kayu untuk diolah sebagai pulp. Tutut serta Prajogo Panegstu juga memiliki perkebunan gula yang sangat luas di Sulawesi.

Keterlibatan Barito dalam bisnis dan politik pun terbukti dalam pemilihan umum 1999. Sebuah laporan yang dimuat di dalam majalah Far Eastern Economic Review menyebutkan bahwa dari sekitar Rp 350 milliar yang dihabiskan oleh Golkar pada Pemilu bulan Juni 1999, sebesar Rp 80 milliar merupakan kontribusi pemilik Barito, Prajogo Pangestu. Selain itu Prajogo juga diduga telah melakukan transfer ke rekening milik mantan Jaksa Agung Andi Ghalib.



Bob Hasan Group
Pengusaha yang satu ini acap disebut dengan julukan Raja Kayu. Hal ini tentunya merujuk pada luasnya konsesi HPH yang dipegangnya. Satu hal yang membuatnya mampu memperoleh konsesi hutan yang sangat besar adalah kemauannya untuk menyediakan saham dan jabatan di dalam perusahaanya kepada anggota keluarga Soeharto.

Perusahaan-perusahaan Bob Hasan yang melakukan praktek KKN dengan keluarga Soeharto antara lain adalah, PT. Alas Helau; PT. Redjo Sari Bumi; PT. Santi Murni; dan PT. Sumber Mari.

Sigit Harjojudanto, putra tertua Soeharto, duduk sebagai Komisaris pada PT. Alas Helau yang memiliki HPH seluas 152.000 hektare di Kalimantan Timur. Sementara itu nama putra-putri Soeharto, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (mbak Tutut), Sigit Harjojudanto, dan Probosutedjo (saudara tiri Soeharto), muncul dalam stuktur PT. Redjo Sari Bumi yang luasnya mencapai 70.000 hektare. Mereka masing-masing menempati posisi sebagai Komisaris, Direktur Utama, dan Komisaris Utama.

Pada PT. Santi Murni, yang memiliki lahan HPH seluas 333.000 hektare di Kalimantan Timur, terdapat 11% saham milik Yayasan Hanurata (yayasan yang dimiliki Soeharto). Hal yang sama juga dapat dijumpai pada PT. Sumber Mari, yang memiliki lahan HPH seluas 202.000 hektare, Sigit Harjojudanto memiliki saham sebesar 10% dan Bambang Trihatmojo sebesar 40%.

Melalui keuntungan-kuntungan yang diperoleh dari konsesi hutan inilah Bob Hasan membangun kerajaan bisnisnya di luar sektor hutan. Kauntungan tersebut juga banyak dipakai untuk membiyai bisnisnya dengan keluarga Cendana. Bob Hasan memiliki saham sebesar 10% di perusahaan Nusantara Ampera Bhakti (lebih dikenal dengan Nusamba). Diperusahaan ini Sigit Harjojudano juga memiliki saham sebesar 10%. Sementara tiga yayasan yang didirikan oleh Soeharto, yaitu Yayasan Darmais, Yayasan Supersemar, Yayasan Dekab, memiliki saham sekitar 80%.

Kedekatan hubungan antara Soeharto dengan Bob Hasan semakin jelas saat pengusaha kayu ini diangkat oleh Soeharto menjadi ketua Assosiasi Pengusaha Kayu Indonesia (APKINDO). Assosiasi ini selama satu dekade di masa pemerintahan Soeharto telah menjadi organisasi kuat yang mengatur tata distribusi kayu Indonesia.

Uang yang mengalir ke dalam APKINDO tidak sedikit. Sebagai contoh assosiasi ini mengharuskan anggotanya untuk membayar setiap meter kubik plywood yang diekspor. Total uang yang dikutip adalah US$ 15/M3, yang meliputi biaya promosi sebesar US$ 10/M3 dan biaya pengurusan sebesar US$ 5/M3. Peraturan ini paling tidak telah mengalirkan uang kedalam tas APKINDO sebesar US$ 1 milliar antara tahun 1983 hingga 1993.

Bob Hasan ternyata mengangkangi juga soal pengapalan plywood yang akan diekspor ke luar negeri. Di dalam catatan intern APKINDO tertanggal 8 Januari 1993 dituliskan bahwa “pemesanan kapal langsung dilakukan melalui Karana Lines, dan oleh karenanya para pengusaha plywood tak boleh melakukan pemesanan sendiri.” Karana Lines ternyata sebuah perusahaan yang 33.2% sahamnya dikuasai oleh Bob Hasan dan 66.4% lainnya dikuasai oleh dua perusahaan yang juga dimiliki oleh Bob Hasan. Sementara saham sisanya, sebesar 0.2%, dikuasai oleh Nanang Bambang Sardjono Gatot Subroto, saudara dari ayah angkat Bob Hasan, Gatot Subroto.

Tak cukup dengan monopoli pengapalan kayu lapis yang akan diekspor ke luar negeri, melalui jalur APKINDO, Bob Hasan juga mengharuskan para anggotanya untuk mengansurasikan semua plywood yang mereka ekspor melalui perusahaan asuransi Tugu Pratama Indo. Saham perusahaan asuransi ini, sebanyak 35%, ternyata dikuasai oleh Nusamba, yang merupakan perusahaan keluarga Soeharto.

APKINDO ternyata juga mewajibkan para anggotanya untuk memasarkan barang mereka melalui jaringan pemasaran yang dimiliki oleh Bob Hasan, antara lain yang terletak di Singapore, Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang. Perusahaan pemeasaran yang terletak di Singapore dimiliki oleh Bob Hasan 100%.

Perlakukan sebagai “anak emas” kepada Bob Hasan di masa pemerintahan Soeharto semakin terbukti dengan diperbolehkannya ia meminjam dana pemerintah untuk reboisasi. Presiden Soeharto pada saat itu bahkan khusus membuatkan Kepres yang mengijinkan Bob Hasan mendapat pinjaman Rp 250 miliar untuk membiayai pembangunan pabrik kertas Kiani Kertas miliknya, yang membutuhkan dana US$ 1.1 milliar. PT. Kiani Kertas bahkan diberikan fasilitas tax holiday selama 10 tahun oleh pemerintah. Tatkala pemerintah melikuidasi beberapa bank swasta yang terbelit kredit macet, salah satunya adalah Bank Umum Nasional, yang merupakan milik Bob Hasan. Melalui mekanisme rekapitalisasi perbankan BUN memperoleh kucuran dana sebesar Rp 2 trilliun. Padahal kredit macet yang menimpa BUN tersebut banyak disebabkan oleh pembiayaan pabrik kertas milik Bob Hasan.

Sementara itu tiga dua kelompok usaha HPH lainnya, Djajanti, Kelompok Alas Kusuma dan Kelompok Kayu Lapis, kurang berhubungan dengan keluarga Soeharto di luar bisnis perkayuan.

Meskipun demikian, bukan berarti ketiga kelompok usaha ini tidak sama sekali melakukan praktek KKN dengan keluarga Soeharto atau dengan pejabat negara. Meskipun lebih sedikit dibanding Barito Pasific maupun Bob Hasan. Perusahaan Djajanti Djaja I dan Djajanti Djaja II, milik Djajanti Group, yang menguasai lahan HPH seluas 284,757 hektare di Kalimantan Tengah telah memberikan 1% saham kepada Sudwikatmono, saudara sepupu Soeharto. Konsesi Djajanti II telah dibatalkan oleh Departemen Kehutanan pada 8 Juli 1999.

Sementara itu PT. Maju Jaya Raya milik Alas Kusuma Group, yang menguasai 80,000 hektare HPH di Bengkulu telah menempatkan Dr. Ibnu Hartomo, saudara ipar Soeharto, sebagai Presiden Komisaris dan pemilik 10% saham pada perusahaan tersebut.

Meskipun Djajanti tidak banyak menempatkan keluarga Soeharto dalam kedudukan komisaris perusahaannya atau sebagai pemegang saham, namun Djajanti memberikan beberapa saham kepada mantan Menteri Pertanian Cosmas Batubara dan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

M. Husni Thamrin
Jakarta, 30 Desember 1999
(I wrote this article when I am working in Indonesia Corruption Watch)

Tuesday, May 09, 2006

Isaiah Berlin's Four Essays on Liberty in Indonesia Language


The Freedom Institute has published Isaiah Berlin’s Four Essays on Liberty. The book, which consists of four discussions of political philosophy, is one of a series of publications in the Freedom Institute’s Book Project. The purpose of this ambitious project is to contribute to the development of liberal thought in Indonesia.

“Freedom” and “liberty” are two words that have found their way into the Indonesian political discourse since the political reforms in 1998. The new political freedoms aspired to in Indonesian society include the freedom to organize, to establish political parties, as well as freedom of expression and the free discussion and dissemination of political ideas through publication mechanisms. In this way a great contribution is being made to the base of knowledge and political debate in Indonesia. Nevertheless the terms “liberty” or “freedom” are not always understood very well, sometimes even being understood negatively. In fact, freedom and liberal are laden with negative connotations in the political history of Indonesia. Liberalism is a Western term that is wrongly perceived as only promoting individualism and ignoring plurality. At a certain political level the term is even considered to be on a par with Communism.

The thinking of the Enlightenment, which was made famous by 18th-century French intellectuals, influenced Isaiah Berlin, a critic of universal and absolute ideas. This does not mean, however, that he is against individual liberty. Berlin was born in Riga, Latvia, June 6th, 1909 as the son of a Jewish timber merchant and spent his childhood in St. Petersburg, Russia. He died in Oxford, England, November 12th, 1997, of a heart attack.

Totalitarianism, which he witnessed in Russia under the Stalin government, alerted Berlin to the thesis that a reality of totalitarian ideas grows from a human desire for liberty, but is founded on a belief in absolute and universal rightness. Berlin reemphasized this idea in his article, “Determination of History,” in which he criticizes the concept of determinism that was put forward by historians and Marxist intellectuals. He labeled such intellectuals “Hedgehogs”, meaning that they were always trying to arrive at a single conclusion: one idea reflects one universal principle where the differences of reality had been convoluted into one coherent system, making heterogeneity in reality not an un-controlled chaos, but having one meaning and suggesting one goal.

Similarly, Berlin labeled other intellectuals “Foxes” – thinkers who did not have a single destination, but believe in a plurality where ideas do not need to be connected, although they should not contradict each other.

The essays of the title of his book, Four Essays on Liberty, refer to four twentieth century political themes. Berlin in fact discusses the four main concepts that he always debated with his critics. The first essay, “Historical Inevitability”, focuses on determinism and its relevance an understanding of man and history. The second, “Two Concepts of Liberty”, is concerned with moral judgment in historical and social thought. The idea discussed focuses on the need to distinguish between positive freedom and negative freedom and its relevance to the distinction between freedom and the conditions for freedom, considering also the freedoms of possession and acquisition. The essay “John Stuart Mill and the Ends of Life” consider monism that explains the unity and harmony of human destination.

In his essays Berlin thought that people are so different that one value system common to all cannot exist. His distinction in the concept of freedom between positive freedom (that to which we are free) and negative freedom (that from which we are free) is well known. Positive freedom is the idea of human freedom, man’s ability to be his own master, and negative freedom is the traditional liberal concept that means the absence of obstacles in a person’s potential choices. He stated that a so-called fundamental freedom that is the ability to make choices is a condition for both freedoms and also a condition for humanity.

Tuesday, March 28, 2006

Pilkada dan Partisipasi Publik:
Langkah Membangun Semangat Melayani Kepentingan Warga

Oleh: M. Husni Thamrin


Mungkin dahulu tak pernah terbayangkan oleh kita dapat mencoblos dan memilih langsung pemimpin yang kita harapkan dapat menjadi “penyambung” keinginan kita. Kita hanya tidak menunggu “petunjuk,” entah dari “Bapak Presiden,” “Bapak Menteri,” gubernur, ataupun bupati dan melanjuti hari-hari kita dengan “tertib, aman, dan terkendali.” Jangan pula kita berharap mendapat kiriman SMS (short message service) kedalam telepon selular kita dari “Presiden RI” yang menghimbau kita untuk melawan penggunaan narkotik dan obat-obatan terlarang. Pada pokoknya pemimpin adalah orang yang harus ditiru dan dituruti tanpa basa-basi. Ia adalah tokoh mulia yang tanpa cacat dan tak tersentuh.

Mitos ini buyar tatkala Indonesia harus menghadapai krisis ekonomi tahun 1997. Bapak Pembangunan yang selalu dielu-elukan gagal meneruskan tradisi pertumbuhan yang selama ini ia agung-agungkan. Taklah heran ia tampak kuyu dihadapan IMF (International Monetary Fund) dan harus mengiba meminta fulus talangan bagi konco-konconya yang mengalami kredit macet. Kehilangan wewenang dan wibawa inilah, ditambah demontrasi mahasiswa besar-besaran dan penolakan beberapa pejabat yang dipilihnya menjadi menteri, membuat ia menyerahkan ”tampuk kekuasaan” kepada wakilnya BJ. Habibie.

Proses ini terus berlanjut dengan pemilihan umum 1999, yang memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mempunyai pilihan politik yang bebas sejak 32 tahun. Siapa saja dapat mendirikan partai politik sebagai saluran aspirasi mereka. Walaupun tentu saja untuk dapat ikut dalam pemilihan umum dan mendapat uang subsidi pemerintah mereka harus mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri dan lulus klarifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidaklah heran jika banyak kelompok dan masyarakat menganggap pemilihan umum 1999 sebagai batu pijakan pertama dalam menjalankan agenda reformasi. Polisi dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) mulai dikurangi perwakilannya di parlemen. Orang-orang yang ditunjuk oleh presiden untuk duduk di parlemen juga tak ada lagi. Di bidang ekonomi pemerintahan Habibie sebelumnya juga telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan dan Larangan Praktek Usaha Tidak Sehat, yang bertujuan menghapus praktek-praktek monopoli, kolusi, dan praktek-praktek usaha ”injak kaki” ala Orde Baru. Langkah ”berani” lain juga diambil oleh pemerintahan Habibie dengan memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya melalui jajak pendapat yang berujung pada merdekanya Timor Lorosae dari Indonesia pada tahun 1999. Tak hanya itu saja, dalam usia pemerintahannya yang pendek itu Habibie pun mendorong perancangan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan tingkat II (kabupaten/kota) untuk menjalankan roda pemerintahan mereka yang ”relatif” otonom dari pemerintah pusat.

Sekali lagi harapan masyarakat terlambung melihat kebijakan ini sebagai langkah berikutnya mewujudkan tuntutan reformasi. Tujuan utama dari desentralisasi adalah mendekatkan layanan publik kepada masyarakat dan memaksimalkan langkah pembangunan yang diambil oleh pemerintah daerah bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya desentralisasi diharapkan menjadi lebih transparan dan masyarakat lebih aktif terlibat dalam perencanaan pembangunan daerah. Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan dari sistem komando terpusat yang umumnya sarat dengan praktek rente dan korupsi. Selain itu desentralisasi juga dianggap sebagai jawaban terhadap rasa frustasi kegagalan proses penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang ditempuh melalui kebijakan terpusat.[1] Langkah ini banyak dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia, terutama pada negara-negara paska rezim otoritarian dan sentralistik.

Melalui desentralisasi daerah diberikan kewenangan untuk mengatur diri mereka sendiri dan mengeluarkan kebijakan (peraturan daerah) yang bertujuan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Sudah barang tentu apa yang dinamakan layanan publik memiliki cakupan yang yang luas. Ia dapat berupa pelayanan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang ingin mengurus surat tanda kelahiran, KTP, Surat Ijin Mengemudi (SIM), hingga proses perijinkan dalam membuka usaha. Pelayanan publik dapat pula menyangkut rasa aman yang dirasakan oleh warga masyarakat karena kinerja aparat kepolisian yang baik atau kekeluasaan dalam mengakses informasi yang diingini oleh masyarakat. Layanan publik pun dapat berarti peluang usaha yang seluas-luasnya bagi masyarakat, dimana pedagang kecil mendapat perlindungan dalam menjalankan usahanya dan tak lagi takut tunggang langgang dikejar oleh “pasukan ketertiban” milik pemerintah daerah. Guna mencapai pelayanan publik yang maksimal dan efisien, mau tidak mau program pembangunan yang dijalankan oleh pemerimtah harus mencerminkan aspirasi yang dimiliki pemerintah. Langkah ini dapat diawali dengan membuka diri terhadap aspirasi masyarakat.

Akan tetapi, setelah empat tahun penerapan otonomi daerah, toh kebijakan ini masih menuai banyak kritikan. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan semangat desentralisasi belum mampu memenuhi harapan masyarakat. Publik tak banyak dilibatkan dalam berbagai perencanaan pembangunan di daerah. Keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pembangunan atau pembuatan keputusan pembangunan, seperti dalam penyusunan anggaran misalnya, umumnya masih bersifat seremonial. Mengingat mengingat budaya paternalistik serta patron klien yang masih kuat pada kalangan masyarakat pedesaan (rural), sudah dapat dibayangkan keputusan yang dibuat masih bersifat top down. Partisipasi publik bagi kalangan eksekutif masih dipahami sebagai sebuah slogan. Tak jarang mereka menganggap jika berbagai keputusan yang akan mereka ambil harus melibatkan publik maka proses tersebut akan memakan waktu yang lama. Hal ini tak jarang membuat eksekutif maupun legislative acap kali memberlakukan berbagai keputusan yang mereka buat atau juga yang datang dari pemerintah pusat sebagai sebuah dokumen yang bersifat rahasia. Dalam buku panduan mengenai partisipasi yang diterbitkan oleh BUILD (Breakthrough Urban Initiative for Local Development) dirumuskan bahwa hak masyarakat dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik adalah:

a. Hak untuk diinformasikan.
b. Hak untuk memberikan masukan.
c. Hak untuk komplain.
d. Hak untuk mengawasi pelaksanaan.[2]

Dengan sendirinya hal ini memberikan dampak buruk terhadap berbagai pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Umumnya pemerintah menganggap berbagai kebijakan yang mereka buat sebagai sebuah keputusan final yang harus diikuti oleh masyarakat, take it or leave it. Fungsi pelayanan yang harus diberikan ikut terabaikan.

Bukti lemahnya pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat taklah sedikit. Contoh lain adalah survey yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang melakukan survey terhadap iklim investasi dan otonomi daerah berdasarkan persepsi yang dimiliki oleh para pelaku di dunia usaha. Pada survey terakhir yang dilakukan pada tahun 2004, faktor kelembagaan mengambil porsi sebesar 31 persen sebagai faktor penentu daya tarik invetasi daerah. Survey ini memang dilakukan berdasarkan persepsi dunia usaha yang diberikan daftar pertanyaan mengenai factor apa saja yang menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan daerah lokasi membuka usaha.[3] Akan tetapi jika kembali pada tujuan desentralisasi yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat maka keengganan dunia usaha untuk melakukan investasi di suatu daerah akibat proses perijinan atau kerumitan yang mereka harus hadapi ketika berurusan dengan lembaga pemerintah, mau tidak mau akan berpengaruh pada tertutupnya peluang lapangan kerja baru ataun pengolahan potensi alam daerah tersebut, yang akan berujung pula pada tertundanya kemajuan kesejahteraan masyarakat. Tak jarang pula instansi-instansi milik pemerintahlah yang menjadi tempat pemungut sumbangan-sumbangan ”liar” terhadap dunia usaha dan bercokolnya berbagai praktek korupsi.[4]

Taklah heran jika masyarakat kemudian mempertanyakan kegunaan otonomi daerah atau bahkan mafaat reformasi. Tak jarang ada juga masyarakat yang masih berangan-angan hidup di era Orde Baru, yang tinggal tahu beres asalkan mau ”nrimo.”

Tatkala persoalan busung lapar dan gizi buruk muncul di Nusatenggara Barat dan Nusatenggara Timur desentralisasi kembali menjadi kambing hitam. Kendali pemerintah pusat di bidang kesehatan yang terputus akibat adanya otonomi daerah dan membuat kebijakan kesehatan pemerintah pusat tak sampai ke daerah dianggap sebagai penyebab bencana. Bahkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengeluarkan pernyataan tentang perlunya megembalikan tanggung jawab pendidikan dan kesehatan pada pemerintah pusat.[5]

Namun apakah desentralisasi (baca otonomi daerah) sebagai sebuah sistem atau mekanisme tata pemerintah yang memang menjadi penyebabnya?

Suatu catatan menarik dibuat pada rubrik Catatan Akhir Pekan Tabloid Senior yang berjudul “Kesehatan buat Rakyat Kesrakat.” Inti persoalan kesehatan masyarakat bukanlah meributkan wewenang pusat atau daerah. Persoalan kesehatan erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan yang membuat masyarakat tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, baik dalam mendapatkan perawatan maupun pengobatan. Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang seharusnya berfungsi memberikan pelayanan belum melakukannya dengan baik.[6] Tatkala otonomi daerah diterapkan kucuran dana dan wewenang pemerintah pusat di bidang kesehatan memang diserahkan kepada pemerintah daerah. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang semula memiliki struktur hingga pedesaan kini hanya memiliki kantor di tingkat propinsi saja. Dengan sendirinya program posyandu yang semula ditangani oleh instansi ini menjadi terhenti pula. Pada masa sebelumnya adanya instansi ini hingga di tingkat pedesaan membuat tingkat gizi keluarga yang ada dapat terpantau dengan cukup baik.

Sudah barang tentu persoalan ini tak dapat diselesaikan dengan hanya mengembalikan keberadaan posyandu atau kantor BKKBN di pedesaan. Terlebih lagi banyak kritik yang mengidentikkan posyandu ataupun BKKBN dengan program Orde Baru. Persoalan yang lebih elementer adalah ”niat baik” pemerintah daerah untuk menjalankan wewenang yang telah mereka peroleh untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan mengurangi ”porsi wajib” yang harus mereka terima.

Selama ini cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api. Contoh yang baik lagi-lagi dapat kita kutip dari persoalan kesehatan, yang memang sedang hangat dibicarakan. Pemerintah daerah yang semula mendapat wewenang untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik, justru menguras anggaran belanja daerahnya untuk pembiayaan rutin seperti gaji pegawai dan anggota parlemen. Di Kabupaten Takalar misalnya, 57 persen anggaran dijatahkan bagi gaji pegawai dan hanya 3 persen yang diperuntukkan bagi kesehatan serta 1 persen untuk pendidikan. Di Kota Kendari yang memiliki APBD 2005 sebesar Rp 227,520 milliar, sebagian atau hampir tiga perempatnya diperuntukan bagi belanja rutin. Anggaran kesehatan hanya dijatah Rp 14 milliar, dan itu pun hanya sepertiga yang diperuntukkan bagi pelayanan publik, sementara selebihnya dimanfaatkan bagi motor dan mobil dinas, rehabilitasi perumahan dokter dan perluasan puskesmas.[7] Namun survey yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada dan Bank Dunia, yang dilakukan di delapan propinsi yang meliputi 32 kabupaten/kota serta 1.815 keluarga sebagai responden justru memberikan data bahwa adanya otonomi daerah telah meningkatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan administrasi.[8] Ini menandakan bahwa ada yang salah tatkala desentralisasi sebagai sebuah sistem dipraktekkan di beberapa daerah. Pemerintah daerah belum menjadi ”pelayan” masyarakat dan memberikan jasa layanan yang terbaik bagi masyarakat yang telah memilihnya. Suatu hal yang sesungguhnya ironis jika mengikuti hasil survey yang dilakukan oleh KPPOD, bahwa di Kabupaten Bengkalis, yang merupakan salah satu kabupaten terkaya di Indonesia, tetapi memiliki infrastruktur, terutama jalan raya, yang terburuk. Ada bahkan suatu usulan yang sedikit ’nyeleneh’ agar kinerja aparat birokrasi menjadi lebih baik, kata pemerintah seharusnya diganti dengan ”pelayan” daerah. Sehingga mereka tidak lagi merasa yang paling berkuasa dan paling benar.

Ada yang mengatakan bahwa kesalahan terletak pada model pemilihan kepala pemerintahan daerah. Selama ini, melalui mekanisme pemilihan kepala daerah dengan mengajukan nama-nama yang akan dipilih oleh para anggota DPRD dan disahkan oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dianggap belum mampu mewakili aspirasi publik dan sarat dengan kolusi dan nepotisme. Tak jarang pula tudingan terlontar bahwa mekanisme ini lebih mempertebal kantung para anggota DPRD daripada kepentingan publik. Oleh karenanya diusulkanlah suatu mekanisme pemilihan kepala daerah langsung, seperti yang dilakukan terhadap anggota DPR, DPRD, DPD, dan Presiden pada pemilu 2004. Wujud kongkrit dari usulan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan dilakukan mulai tingkat propinsi hingga kabupaten dan kota. Sejak Juni hingga Desember 2005 diperkirakan ada sekitar 20 propinsi dan 214 kabupaten/kota akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dengan asumsi bahwa melalui pemilihan kepala daerah secara langsung pasangan kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah relative mengenal dan memiliki pemahaman terhadap daerah serta disisi yang lain masyarakat relative mengenal dan dapat memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan harapan mereka, pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat memunculkan Gubernur. Bupati, atau Walikota yang mampu memajukan kesejahteraan publik.

Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) bukan hanya bertujuan membuat aspirasi masyarakat tersalurkan dan meningkat tetapi juga berharap agar aspirasi tersebut tersuarakan oleh para kandidat yang bertanding dan menjadi program pembangunan yang akan diwujudkan tatkala mereka terpilih. Selama ini berbagai program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di daerah banyak mendapat kritik karena tak mencerminkan kepentingan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Bahkan tak kurang berbagai program pembangunan yang ada hanya merupakan kepanjangan dari program pemerintah pusat atau meniru program-program yang berhasil di daerah lain.[9]

Namun apakah harapan tersebut terwujud?

Lagi-lagi kekecewaanlah yang muncul. Pada beberapa pemilihan kepala daerah animo masyarakat mengikuti pemilihan ternyata sangat rendah. Sebagai contoh adalah pemilihan yang dilakukan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 27 Juni 2005, yang berdasarkan pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) hanya diikuti sekitar 30% hingga 40% pemilih. Sekitar 55% pemilih yang terdaftar umumnya enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak mengenal calon kepala daerah.[10] Hal yang sama terjadi di Bengkulu pada saat dilakukan pemilihan gubernur. Masyarakat yang tak mendatangi TPS mencapai angka diatas 35%. Di kota Kendal pada saat melakukan pemilihan bupati pada tanggal 26 Juni 2005 bahkan hanya dihadiri oleh 423.429 pemilih yang mendatangi TPS dari 650.817 pemilih yang terdaftar. Sekali lagi fenomena ini menjadi ironi yang menyedihkan karena dengan tak mengenal calon yang maju sebagai kandidat kepala daerah maka mereka pun otomatis tidak akan tahu dan perduli terhadap program yang dikampanyekan oleh calon tersebut. Sudah dapat dibayangkan pula tujuan mulia mendekatkan calon kepada masyarakat yang akan memilihnya dan menyodorkan program pembangunan yang sesuai dengan harapan masyarakat semakin jauh.

Berbagai calon kepala daerah yang bertanding lebih mementingkan atribut pendukung agar mereka dapat menarik perhatian masyarakat dan terpilih. Tak jarang beredar isu mengenai beberapa kandidat yang membagikan uang kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa calon yang harus berurusan dengan pihak berwajib akibat penggunaan atribut atau material kampanye yang tidak berkenan dimata masyarakat. Satu calon bupati di Kabupaten Pangkep, Sulawesi, misalnya menggunakan Al Qur’an yang menggunakan photo dirinya pada sampul. Al Qur’an tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat guna meraih dukungan. Kasus yang sama juga terjadi pada mantan Bupati Bima Zainul Arifin, yang menaruh photo diri dan isterinya pada halaman depan Al Qur’an yang dibagi-bagikan kepada masyarakat. Dicurigai upaya tersebut dipakai sebagai alat meraih dukungan dalam pemilihan pilkada di Kabupaten Bima. Bukan itu saja, mantan bupati ini masuk dalam pemeriksaan polisi karena dicurigai dana pembuatan Al Qur’an tersebut diambil dari APBD 2003 saat ia masih menjadi bupati.

Dalam berbagai kampanye para kandidat berupaya meraih dukungan dan perhatian masyarakat dengan berbagai cara, misalnya dengan menampilkan baligo-baligo besar, spanduk, kaos, stiket, atau berpawai keliling kota. Namun hanya secuil yang menampilkan program, visi dan misi mereka. Lemahnya persiapan kandidat berkaitan dengan program dapat dicontohkan pada pernyataan kandidat walikota dan wakilwalikota Semarang, yang pada perhitungan awal tanggal 29 Juni 2005 telah memperoleh suara 73 persen, Sukawi Sutarip – Mahfudz Ali, menyatakan bahwa program 100 hari pertama mereka adalah evaluasi terhadap masukan maupun kritik yang datang dari masyarakat, LSM, dan bahkan kandidat calon walikota lainnya.[11] Hal ini menandakan pasangan ini tak memiliki visi dan misi maupun program sebelumnya yang siap ia jalankan. Proses evaluasi atau meminta masukan dari masyarakat maupun LSM ini toh dapat mereka lakukan sebelumnya tatkala menyusun program kampanye yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Tak sedikit pula yang menjadikan pilkada sebagai ajag coba-coba mengadu untung. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun tak dapat menahan air liurnya untuk ikut mencicipi ”kue” pilkada. Modal terpilih secara langsung pada pemilihan umum 2004 dan sedikit kemampuan keuangan dianggap sudah cukup untuk terjun ikut bertanding. Apa lacur, banyak diantara mereka yang rontok dan kalah dari calon yang memang telah disiapkan oleh partai politik sedari awal. Agaknya mereka lupa dengan logika yang berbeda dengan proses pemilihan umum 2004 lalu. Pada saat itu partai-partai politik tidak memiliki kepentingan atau menaruh perhatian yang serius terhadap posisi DPD. Namun dalam pemilihan pilkada persalan menjadi lain. Posisi bupati, gubernur atau walikota menjadi penting karena menyangkut akses terhadap sumber data financial guna menghadapi pemilihan umum 2009.

Kembali pada persoalan pemilihan kepala daerah, banyak yang menyatakan bahwa proses demokrasi, seperti yang diinginkan tatkala melakukan reformasi pada tahun 1998, telah di”bajak” dimana kekuatan elite politik Orde Baru muncul kembali ke panggung politik. Fenomena ini semakin terlihat dalam hasil beberapa pemilihan kepala daerah, walaupun dibeberapa tempat ada beberapa calon independen dan civil society muncul sebagai pemenang, seperti yang terjadi di pemilihan bupati Banyuwangi, namun kekuatan politik lama, yang direpresentasikan oleh Partai Golkar, umumnya muncul sebagai pemenang.

Tak ada yang salah jika Golkar mendominasi pemilihan kepala daerah sepanjang mereka memenuhi aturan main dan berlaku jujur dalam meraih dukungan. Namun tentunya ada yang salah tatkala representasi partisipasi publik dalam pesta pilkada tak lebih dari 40 persen. Bisa jadi mereka tak mengenal calon yang akan bertanding, seperti yang ditemukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jawa Timur, atau bisa saja mereka tak lagi perduli. Jika alasan kedua yang menjadi sebab maka sudah sepatutnya proses pemilhan kepala daerah langsung ini dicermati dengan seksama

Dengan adanya politik massa mengambang yang diterapkan oleh Orde Baru selama 32 tahun berkuasa membuat masyarakat kehilangan skill politic mereka. Padahal didalam demokrasi, politik adalah unsur pendorong yang utama. Masyrakat menjadi a politik, yang bahkan membuat Akbar Tanjung tatkala menjabat sebagai Ketua DPR dan diusik dalam kasus korupsi menghimbau agar kasusnya ”tidak dipolitisir.” Politik menjadi suatu kata yang harus dihindari oleh masyarakat, karena memiliki konotasi negatif.

Demokrasi merupakan suatu keharusan yang penting jika menginginkan perubahan dan kemajuan bagi masyarakat. Demokrasi membuka pasar yang seluas-luasnya bagi ide-ide politik baru yang ada di tengah masyarakat. Konflik atau perbedaan pandangan politik adalah hal yang biasa dalam sebuah demokrasi. Oleh karenanya tak perlu ditakuti jika ada perbedaan pendapat didalam demokrasi. Oleh karenanya demokrasi menjadi hidup jika partisipasi terbuka seluas mungkin dan masyarakat memiliki hak yang sama dalam proses partisipasi tersebut. Namun jika masyarakat tak antusias menyambut pesta demokrasi tersebut dan tak mau berpartisipasi berarti ada yang salah dalam mekanisme demokrasi tersebut atau masyarakat kecewa dengan tak terwujudnya aspirasi yang mereka inginkan.

Jika berbagai calon yang berkompetisi tak menjanjikan apa-apa untuk masyarakat dan tak juga mewujudkan cita-cita kesejahteraan yang diinginkan masyarakat, bisa saja masyarakat semakin apatis terhadap proses politik dan pilkada akhirnya hanya menjadi uji coba serta penggalangan kekuatan bagi pemilihan umum 2009 semata.

[1] Uraian yang menarik terhadap alasan dan tujuan pelaksanaan desentralisasi ini dapat dibaca pada draft yang disiapkan oleh James Manor untuk World Bank, “The Political Economy of Decentralization,” pada Agustus 1997.
[2] Buku panduan ini diterbitkan oleh BUILD dalam rangka kampanye bersama Apeksi, Apkasi, Adeksi, dan Adkasi, yang didukung oleh Depdagri, UNDP, dan UN-HABITAT. Lihat buku panduan Build, “Melegalkan Partisipasi: Mendayagunakan Aspirasi,” Edisi Desember 2002
[3] Hasil lengkap dari survey pesepsi dunia usaha terhadap iklim inveatasi di Indonesia ini ini dapat dilihat di website KPPOD, http://www.kppod.or.id/
[4] Lihat survey yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada tahun 2004, Indonesian Corruption Perception Index 2004.
[5] ”Kesehatan Perlu Resentralisasi,” 16 Juni 2005, http://www.kompas.co.id/
[6] Sam Lantang, “Catatan Akhir Pekan: Kesehatan buat Rakyat Kesrakat,” Tabloid Senior No. 309 / 17 – 23 Juni 2005.
[7] Lihat ”Otonomi dan Perut yang Membusung,” Majalah Mingguan Tempo, No. 17/XXXIV/20-26 Juni 2005.
[8] Ibid.
[9] Dalam beberapa kesempatan workshop atau pelatihan bagi anggota DPRD yang diadakan oleh Friedrich Naumann Stiftung yang bekerjasama dengan YPBHI di Sumatera atau GTZ – Promis di Nusatengara, beberapa peserta bahkan mengakui apa yang tertuang dalam renstra daerah mereka adalah copy paste dari materi workshop yang mereka terima di Depdagri atau Bappenas di Jakarta. Bahkan tak jarang ada beberapa kata yang mereka lupa ganti dan masih sempat tercetak.
[10] ”Golput Meningkat Calon Tak Dikenal, Warga Malas Datangi TPS,” 28 Juni 2005, http://www.mediaindo.co.id/
[11] Lihat 100 Hari Pertama Sukma – Tak Ada Perombakan Struktur Birokrasi, 29 Juni 2005, www.suaramerdeka.com